Oleh: Wenty Februari
B. DEFINISI
a. Definisi Kafa’ah
Secara bahasa kafa’ah adalah al-Musaawah wal Mumaatsilah,
yang berarti kesamaan dan kesetaraan, dikatakan fulan setara dengan fulan,
yaitu sebanding dengannya[1]
Adapun menurut isthilah fuqaha’ adalah penyetaraan diantara suami istri
yang dapat menghilangkan rasa malu dalam perkara yang khusus[2],
baik kesetaraan dalam agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan, ataupun yang
lainnya.[3]
b. Definisi Harokah
Secara bahasa harokah berasal dari bahasa arab yaitu Haruka /
at-Taharruk, yang artinya bergerak, lawan kata dari diam ( tidak bergerak),
yang berarti harokah adalah suatu gerakan.[4]
Secara istilah harokah islamiyah adalah garis perjalanan yang jelas baik
aqidah, syari’ah maupun tarbiyah dan khittoh serta langkah-langkahnya
didalam beramal dengan teliti dalam marhalah-marhalah yang beraneka
ragam. Dengan media yang selalu baru sesuai dengan realitas manusia dalam
segala keadaan aspeknya.[5]
C. PENDAPAT FUQAHA’
DALAM PENSYARATAN KAFA’AH
Terdapat tiga pendapat dalam pensyaratan kafa’ah, yaitu:
1. Bahwa kafa’ah
pada asalnya bukanlah merupakan syarat, bukan merupakan syarat sahnya
pernikahan, dan tidak pula merupakan syarat lazim, maka pernikahan tetap sah
dan lazim baik itu sekufu (setara) ataupun tidak, dan ini merupakan pendapat
ats-Tsauri, Hasan al-Bashri, al-Kurhi dan Ibnu Hazm adz-Dzohiri[6].
Mereka berdalil dengan dalil berikut:
Allah Ta’ala berfirman:
يأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu”
(al-hujurat 13).
2. Menurut pendapat Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan riwayat dari Ahmad, bahwasanya kafa’ah merupakan
syarat sahnya pernikahan[7].
Sebagaimana dalil hadits yang diriwayatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari
Aisyah dan Umar, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَأَمنَعَنَّ تَزَوَّجَ
ذَوَاتِ اْلأَحْسَابِ إِلاَّ مِنَ الأَكِفَّاءِ
“Pastilah aku akan melarang
kalian untuk menikahkan orang yang memiliki kehormatan kecuali orang yang
setara” (HR. ad-Daruquthni)[8]
3. Menurut pendapat
jumhur fuqaha, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, bahwa kafa’ah merupakan syarat
dalam lazimnya pernikahan, bukan syarat dalam
sahnya pernikahan.[9]
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ali, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ثَلاَثٌ لاَتُؤَخِّرُ,
الصَلاَةُ إِذَا أَتَتْ, وَالجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ, وَالأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ
كُفُؤًا لَهَا
“Tiga perkara yang tidak boleh
ditangguhkan: shalat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah datang, dan
perempuan yang belum menikah jika mendapati orang yang setara dengannya” (HR. at-Titmidzi)[10]
D. DALIL DISYARIATKANNYA
AMAL JAMA’I
Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpeganglah kamu sekalian pada Tali Allah dan janganlah
bercerai berai”(QS. ali-Imran:103)
Al-Qurthubi berkata, “arti hablullah diatas, saling mendekati dan
mencakup karena Allah Ta’ala memerintahkan berhimpun dan melarang perpecahan.
Sebab, perpecahan adalah kebinasaan, dan jama’ah adalah keselamatan”[11]
Al-Jashas juga berkata, “inilah perintah berhimpun dan larangan berpecah
belah. Orang mukmin seluruhnya diperintahkan agar mengingatkan padanya dan
berhimpun didalamnya”[12]
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong- menolonglah dalam kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Mah dahsyat siksa-Nya” (QS. al-Ma’idah: 2)
Ibnu Jarir berkata mengenai ayat ini: hendaklah sebagian dari kalian
menolong sebagian lain, hai orang-orang mukmin, yaitu dalam mengerjakan
perintah Allah yakni takwa. Takwa itu menjaga diri terhadap apa yang telah
diperintahkan oleh Allah dan menjauhkan diri dari durhaka kepada-Nya” [13]
E. ORANG YANG DIMINTA
MEMENUHI KAFA’AH
Para fuqaha’ sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak perempuan dan para
walinya. Dengan artian bahwa kafa’ah itu dianggap di pihak laki-laki, bukannya
dipihak perempuan. Karena, ini adalah hak kepentingan perempuan, bukannya
kepentingan laki-laki, sehingga disyaratkan laki-laki harus sebanding dengan
perempuan atau mendekati tingkatannya.
Sedangkan perempuan tidak disyaratkan sebanding dengan laki-laki atau
mendekati tingkatannya, bahkan sah jika perempuan lebih rendah darinya dari
berbagai perkara kafa’ah. Sebab, seorang laki-laki tidak memandang rendah
seorang istri yang tingkatannya lebih rendah darinya, sedangkan perempuan dan
para sanak kerabatnya memandang rendah suami yang tingkatannya lebih rendah
darinya.[14]
F. KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN BEDA HAROKAH
Salah satu dari sifat-sifat kafa’ah yaitu kafa’ah dalam masalah agama, khususnya
terkait dengan agama islam itu sendiri. Pada dasarnya islam tidak pernah
membeda-bedakan harakah dalam syarat pernikahan, namun islam membatasi masalah
agama, yang mana maksud agama islam adalah kebenaran dan kelurusan terhadap
hukum-hukum agama, termasuk didalamnya kesetaraan dalam masalah harokah.
Dikatakan dalam kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu, bahwa seorang
lelaki yang bermaksiat dan fasik tidak sebanding dengan perempuan yang suci, atau
perempuan yang shalihah yang merupakan anak orang sholih atau perempuan yang
lurus, yang dia dan keluarganya memiliki jiwa agamis dan akhlak yang terpuji,
baik kefasikan orang tersebut ditunjukkan secara terang-terangan ataupun tidak.
Laki-laki tersebut bukan orang yang sebanding (sekufu) bagi perempuan yang
baik, sesuai kesepakatan fuqaha’, selain Muhammad Ibnul Hasan, berdasarkan
firman Allah Ta’ala:
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَا يَسْتَوُون
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik? Mereka tidak
sama” (QS. as-Sajadah: 18)
Begitu juga dalam Hadits riwayat Abu Hatim al-Muzni, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنكِحُوهُ,
إِلاَّ تَفعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌفِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٍ
“Jika datang kepada kalian orang yang kalian merasa ridha terhadap
agamanya dan akhlaknya, nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan
terjadi fitnah diatas bumi dan kerusakan yang besar” (HR. at-Tirmidzi)[15]
Sedangkan Muhammad Ibnul Hasan berkata, bahwa sesungguhnya
kefasikan tidak mencegah kafa’ah kecuali
jika orang yang fasik ini meracau, menempeleng, dan melakukan ejekan, atau keluar
ke pasar dalam keadaan mabuk. Karena kefasikan merupakan salah satu hukum
akhirat, maka tidak dilakukan hukum dunia. [16]
Dari pemaparan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan
harokah adalah termasuk didalamnya peran kafa’ah dalam masalah agama, jika
harokah tersebut mempunyai aqidah yang benar, tidak menyimpang dan sesuai
dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pernikahan berbeda
harokah diperbolehkan. Sebab, harokah hanyalah sebuah wadah hasil dari ijtihad
seseorang, yang kemugkinan adanya kesalahan
ataupun kebenaran didalamnya. Namun, jika harokah tersebut mempunyai
aqidah yang menyimpang dan ajaran yang sesat, maka pernikahan hal ini tidak
diperbolehkan.
Sebab saat ini banyak sekali terdapat harokah islam di Indonesia,
bahakan di dunia. Diantara banyaknya harokah tersebut, masing-masing harus di
pilah-pilah kebenaran aqidah dan manhajnya.
Adapun syarat sah dan lazimnya pernikahan hal seperti ini, tidak berpengaruh
karena adanya pernikahan beda harokah. Sebab harokah merupakan bagian dari
kafa’ah dalam masalah agama, sedangkan kafa’ah itu sendiri bukan merupakan
syarat sah atau lazimnya pernikahan, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’.
Sehingga pernikahannya tetap sah, baik itu sekufu (setara) ataupun tidak.[17]
G. KESIMPULAN
Kesimpulan dari pemaparan diatas yaitu, bahwa kafa’ah merupakan salah
satu syari’at dalam islam, sehingga dengan adanya kafa’ah dalam pernikahan
dapat terjalinnya kelanggengan yang harmonis.
pentingnya kafa’ah dalam pernikahan antar harokah ini berpengaruh dalam
terjalinnya kelanggengan sebuah pernikahan, memang pada dasarnya tidak ada
dalil dalam al-Qur’an maupun sunnah yang menerangkan boleh atau tidaknya
menikah antar harokah, namun semuanya kembali pada pribadi masing-masing. Jika
memang merasa siap menghadapi perbedaan dan konsekwensinya, pada dasarnya hal
itu tidak mengapa. Namun jika tidak siap menghadapi perbedaan sudut pandang
antar masing-masing harokah, maka akan lebih baik jika menikah dengan pasangan
yang berasal dari suatu harokah yang sama. Wallahu a’lam bis Showab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul
Karim
Andalusi, al-, Ibnu Hazm, al-Muhalla
bi al-Atsar, cet. ke 3, jilid 10, ( Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M)
Jashas, al-,
Imam Abi Bakr Ahmad ar-Razi, Ahkamul qur’an, jild 2, (Beirut: Daar
al-Fikr, 1421 H/ 2001 M)
Kurdi, al-, Hasan Muhammad Abdul Hamid, al-Kafa’ah Fi az-Zawaj, Tesis
S2, (Gaza: al-Jami’ah al-Islamiyah, t.t)
Maqdisi, al-, Ibnu Qudamah, al-Mughni,
cet. ke 3, Jild. 9, ( Riyadh, Daar ‘Alim al-Kutub, 1417 H/ 1997 M)
Mubarakfuri, al-, Muhammad bin Abdirrahman bin Abdirrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi
Syarhi Jami’ at-Turmudzi, jild. 1, (t.tp, Daar al-Fikr, t.t), hadits no.
172
Mukarram, al-,
Abdullah Muhammad bin, Lisanul Arab, (Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t)
Qurthubi, al-, Abi Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Tafsir al-Qurthubi, cet. ke 3, jild 4,
(Libanon, Darul Kutubi Ilmiyah, 2010 M)
Shadiq
Burhan, Nikah Beda Harokah, (Solo, Gazza Media, 2011 M)
Syaukani, asy-, Syaikh Imam
Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nailul Author min Ahaditsi Sayyidil Akhyar,
cet. ke 4, jild. 3, (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 2011 M) hadits no. 2666
Thabari, ath-,
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir ath-Thabari, cet. ke 4, jild 6, (Kairo: Daar as-Salam, 1430 H/ 2009
M)
Zuhaili, az-,
Wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa
Adillatuhu, terj. Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet. ke 1, jild. 9, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
[2]Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa
Adillatuhu, terj. Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet. ke 1, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), jild. 9, hlm 214
[3] Hasan Muhammad Abdul Hamid al-Kurdi, al-Kafa’ah
Fi az-Zawaj, Tesis S2, (Gaza: al-Jami’ah al-Islamiyah, t.t), hlm. 38
[6] Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhalla bi
al-Atsar, cet. ke 3, ( Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M),
jilid 10, hlm 24
[7] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni,
cet. ke 3, Jild. 9, ( Riyadh, Daar ‘Alim al-Kutub, 1417 H/ 1997 M), hlm. 387
[8] Syaikh Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad
asy-Syaukani, Nailul Author min Ahaditsi Sayyidil Akhyar, cet. ke 4,
jild. 3, (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah,
2011 M), hlm. 135, hadits no. 2666
[10] Muhammad
bin Abdirrahman bin Abdirrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi
Jami’ at-Turmudzi, jild. 1, (t.tp, Daar al-Fikr, t.t), hlm 518, hadits no.
172
[11] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari
al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, cet. ke 3, jild 4, (Libanon, Darul
Kutubi Ilmiyah, 2010 M), hlm 159
[12] Imam Abi Bakr Ahmad ar-Razi al-Jashas, Ahkamul
qur’an, jild 2, (Beirut: Daar al-Fikr, 1421 H/ 2001 M), hlm 43
[13] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari,
Tafsir ath-Thabari, cet. ke 4, jild
6, (Kairo: Daar as-Salam, 1430 H/ 2009 M), hlm 6