Kamis, 10 November 2016

PENTINGNYA KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN BEDA HAROKAH

Oleh: Wenty Februari

B.  DEFINISI
a.    Definisi Kafa’ah
Secara bahasa kafa’ah adalah al-Musaawah wal Mumaatsilah, yang berarti kesamaan dan kesetaraan, dikatakan fulan setara dengan fulan, yaitu sebanding dengannya[1]
Adapun menurut isthilah fuqaha’ adalah penyetaraan diantara suami istri yang dapat menghilangkan rasa malu dalam perkara yang khusus[2], baik kesetaraan dalam agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan, ataupun yang lainnya.[3]

b.    Definisi Harokah
Secara bahasa harokah berasal dari bahasa arab yaitu Haruka / at-Taharruk, yang artinya bergerak, lawan kata dari diam ( tidak bergerak), yang berarti harokah adalah suatu gerakan.[4]
Secara istilah harokah islamiyah adalah garis perjalanan yang jelas baik aqidah, syari’ah maupun tarbiyah dan khittoh serta langkah-langkahnya didalam beramal dengan teliti dalam marhalah-marhalah yang beraneka ragam. Dengan media yang selalu baru sesuai dengan realitas manusia dalam segala keadaan aspeknya.[5]

C.  PENDAPAT FUQAHA’ DALAM PENSYARATAN KAFA’AH
Terdapat tiga pendapat dalam pensyaratan kafa’ah, yaitu:
1.    Bahwa kafa’ah pada asalnya bukanlah merupakan syarat, bukan merupakan syarat sahnya pernikahan, dan tidak pula merupakan syarat lazim, maka pernikahan tetap sah dan lazim baik itu sekufu (setara) ataupun tidak, dan ini merupakan pendapat ats-Tsauri, Hasan al-Bashri, al-Kurhi dan Ibnu Hazm adz-Dzohiri[6]. Mereka berdalil dengan dalil berikut:
    Allah Ta’ala berfirman:
يأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu” (al-hujurat 13).

2.    Menurut pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan riwayat dari Ahmad, bahwasanya kafa’ah merupakan syarat sahnya pernikahan[7]. Sebagaimana dalil hadits yang diriwayatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Aisyah dan Umar, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَأَمنَعَنَّ تَزَوَّجَ ذَوَاتِ اْلأَحْسَابِ إِلاَّ مِنَ الأَكِفَّاءِ
“Pastilah aku akan melarang kalian untuk menikahkan orang yang memiliki kehormatan kecuali orang yang setara” (HR. ad-Daruquthni)[8]

3.    Menurut pendapat jumhur fuqaha, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, bahwa kafa’ah merupakan syarat dalam lazimnya pernikahan, bukan syarat dalam  sahnya pernikahan.[9] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ali, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ لاَتُؤَخِّرُ, الصَلاَةُ إِذَا أَتَتْ, وَالجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ, وَالأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ كُفُؤًا لَهَا
“Tiga perkara yang tidak boleh ditangguhkan: shalat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah datang, dan perempuan yang belum menikah jika mendapati orang yang setara dengannya” (HR. at-Titmidzi)[10]

D.  DALIL DISYARIATKANNYA AMAL JAMA’I
Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpeganglah kamu sekalian pada Tali Allah dan janganlah bercerai berai”(QS. ali-Imran:103)
Al-Qurthubi berkata, “arti hablullah diatas, saling mendekati dan mencakup karena Allah Ta’ala memerintahkan berhimpun dan melarang perpecahan. Sebab, perpecahan adalah kebinasaan, dan jama’ah adalah keselamatan”[11]
Al-Jashas juga berkata, “inilah perintah berhimpun dan larangan berpecah belah. Orang mukmin seluruhnya diperintahkan agar mengingatkan padanya dan berhimpun didalamnya”[12]
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong- menolonglah dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mah dahsyat siksa-Nya” (QS. al-Ma’idah: 2)
Ibnu Jarir berkata mengenai ayat ini: hendaklah sebagian dari kalian menolong sebagian lain, hai orang-orang mukmin, yaitu dalam mengerjakan perintah Allah yakni takwa. Takwa itu menjaga diri terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan menjauhkan diri dari durhaka kepada-Nya” [13]

E.   ORANG YANG DIMINTA MEMENUHI KAFA’AH
Para fuqaha’ sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak perempuan dan para walinya. Dengan artian bahwa kafa’ah itu dianggap di pihak laki-laki, bukannya dipihak perempuan. Karena, ini adalah hak kepentingan perempuan, bukannya kepentingan laki-laki, sehingga disyaratkan laki-laki harus sebanding dengan perempuan atau mendekati tingkatannya.
Sedangkan perempuan tidak disyaratkan sebanding dengan laki-laki atau mendekati tingkatannya, bahkan sah jika perempuan lebih rendah darinya dari berbagai perkara kafa’ah. Sebab, seorang laki-laki tidak memandang rendah seorang istri yang tingkatannya lebih rendah darinya, sedangkan perempuan dan para sanak kerabatnya memandang rendah suami yang tingkatannya lebih rendah darinya.[14]

F.   KAFA’AH  DALAM PERNIKAHAN BEDA HAROKAH
Salah satu dari sifat-sifat kafa’ah yaitu kafa’ah dalam masalah agama, khususnya terkait dengan agama islam itu sendiri. Pada dasarnya islam tidak pernah membeda-bedakan harakah dalam syarat pernikahan, namun islam membatasi masalah agama, yang mana maksud agama islam adalah kebenaran dan kelurusan terhadap hukum-hukum agama, termasuk didalamnya kesetaraan dalam masalah harokah.
Dikatakan dalam kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu, bahwa seorang lelaki yang bermaksiat dan fasik tidak sebanding dengan perempuan yang suci, atau perempuan yang shalihah yang merupakan anak orang sholih atau perempuan yang lurus, yang dia dan keluarganya memiliki jiwa agamis dan akhlak yang terpuji, baik kefasikan orang tersebut ditunjukkan secara terang-terangan ataupun tidak. Laki-laki tersebut bukan orang yang sebanding (sekufu) bagi perempuan yang baik, sesuai kesepakatan fuqaha’, selain Muhammad Ibnul Hasan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَا يَسْتَوُون

“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik? Mereka tidak sama” (QS. as-Sajadah: 18)
Begitu juga dalam Hadits riwayat Abu Hatim al-Muzni, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنكِحُوهُ, إِلاَّ تَفعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌفِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٍ
“Jika datang kepada kalian orang yang kalian merasa ridha terhadap agamanya dan akhlaknya, nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah diatas bumi dan kerusakan yang besar” (HR. at-Tirmidzi)[15]    
Sedangkan Muhammad Ibnul Hasan berkata, bahwa sesungguhnya kefasikan  tidak mencegah kafa’ah kecuali jika orang yang fasik ini meracau, menempeleng, dan melakukan ejekan, atau keluar ke pasar dalam keadaan mabuk. Karena kefasikan merupakan salah satu hukum akhirat, maka tidak dilakukan hukum dunia. [16]
Dari pemaparan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan harokah adalah termasuk didalamnya peran kafa’ah dalam masalah agama, jika harokah tersebut mempunyai aqidah yang benar, tidak menyimpang dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pernikahan berbeda harokah diperbolehkan. Sebab, harokah hanyalah sebuah wadah hasil dari ijtihad seseorang, yang kemugkinan adanya kesalahan  ataupun kebenaran didalamnya. Namun, jika harokah tersebut mempunyai aqidah yang menyimpang dan ajaran yang sesat, maka pernikahan hal ini tidak diperbolehkan.
Sebab saat ini banyak sekali terdapat harokah islam di Indonesia, bahakan di dunia. Diantara banyaknya harokah tersebut, masing-masing harus di pilah-pilah kebenaran aqidah dan manhajnya.
Adapun syarat sah dan lazimnya pernikahan hal seperti ini, tidak berpengaruh karena adanya pernikahan beda harokah. Sebab harokah merupakan bagian dari kafa’ah dalam masalah agama, sedangkan kafa’ah itu sendiri bukan merupakan syarat sah atau lazimnya pernikahan, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’. Sehingga pernikahannya tetap sah, baik itu sekufu (setara) ataupun tidak.[17]

G.  KESIMPULAN
Kesimpulan dari pemaparan diatas yaitu, bahwa kafa’ah merupakan salah satu syari’at dalam islam, sehingga dengan adanya kafa’ah dalam pernikahan dapat terjalinnya kelanggengan yang harmonis.
pentingnya kafa’ah dalam pernikahan antar harokah ini berpengaruh dalam terjalinnya kelanggengan sebuah pernikahan, memang pada dasarnya tidak ada dalil dalam al-Qur’an maupun sunnah yang menerangkan boleh atau tidaknya menikah antar harokah, namun semuanya kembali pada pribadi masing-masing. Jika memang merasa siap menghadapi perbedaan dan konsekwensinya, pada dasarnya hal itu tidak mengapa. Namun jika tidak siap menghadapi perbedaan sudut pandang antar masing-masing harokah, maka akan lebih baik jika menikah dengan pasangan yang berasal dari suatu harokah yang sama. Wallahu a’lam bis Showab.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
Andalusi, al-, Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-Atsar, cet. ke 3, jilid 10, ( Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M)
Jashas, al-, Imam Abi Bakr Ahmad ar-Razi, Ahkamul qur’an, jild 2, (Beirut: Daar al-Fikr, 1421 H/ 2001 M)
Kurdi, al-, Hasan Muhammad Abdul Hamid, al-Kafa’ah Fi az-Zawaj, Tesis S2, (Gaza: al-Jami’ah al-Islamiyah, t.t)
Maqdisi, al-, Ibnu Qudamah, al-Mughni, cet. ke 3, Jild. 9, ( Riyadh, Daar ‘Alim al-Kutub, 1417 H/ 1997 M)
Mubarakfuri, al-, Muhammad bin Abdirrahman bin Abdirrahim, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Turmudzi, jild. 1, (t.tp, Daar al-Fikr, t.t), hadits no. 172
Mukarram, al-, Abdullah Muhammad bin, Lisanul Arab, (Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t)
Qurthubi, al-, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Tafsir al-Qurthubi, cet. ke 3, jild 4, (Libanon, Darul Kutubi Ilmiyah, 2010 M)
Shadiq Burhan, Nikah Beda Harokah, (Solo, Gazza Media, 2011 M)
Syaukani, asy-, Syaikh Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nailul Author min Ahaditsi Sayyidil Akhyar, cet. ke 4, jild. 3, (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 2011 M) hadits no. 2666
Thabari, ath-, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir ath-Thabari, cet. ke 4,  jild 6, (Kairo: Daar as-Salam, 1430 H/ 2009 M)
Zuhaili, az-, Wahbah,  al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, terj. Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet. ke 1, jild. 9, (Jakarta: Gema Insani, 2011)



[1] Abdullah Muhammad bin al-Mukarram, Lisanul Arab, (Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t), hlm. 3892
[2]Wahbah az-Zuhaili,  al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, terj. Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet. ke 1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), jild. 9, hlm 214
[3] Hasan Muhammad Abdul Hamid al-Kurdi, al-Kafa’ah Fi az-Zawaj, Tesis S2, (Gaza: al-Jami’ah al-Islamiyah, t.t), hlm. 38
[4]Abdullah Muhammad bin al-Mukarram, Lisanul…, hlm. 844
[5] Burhan Shadiq, Nikah Beda Harokah, (Solo, Gazza Media, 2011 M), hlm. 10
[6] Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhalla bi al-Atsar, cet. ke 3, ( Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M), jilid 10, hlm 24
[7] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, cet. ke 3, Jild. 9, ( Riyadh, Daar ‘Alim al-Kutub, 1417 H/ 1997 M), hlm. 387
[8] Syaikh Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nailul Author min Ahaditsi Sayyidil Akhyar, cet. ke 4, jild. 3, (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 2011 M), hlm. 135, hadits no. 2666
[9] Wahbah az-Zuhaili,  al-Fiqh al-Islami…, hlm. 216
[10] Muhammad bin Abdirrahman bin Abdirrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Turmudzi, jild. 1, (t.tp, Daar al-Fikr, t.t), hlm 518, hadits no. 172
[11] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, cet. ke 3, jild 4, (Libanon, Darul Kutubi Ilmiyah, 2010 M), hlm 159
[12] Imam Abi Bakr Ahmad ar-Razi al-Jashas, Ahkamul qur’an, jild 2, (Beirut: Daar al-Fikr, 1421 H/ 2001 M), hlm 43
[13] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, cet. ke 4,  jild 6, (Kairo: Daar as-Salam, 1430 H/ 2009 M), hlm 6
[14] Wahbah az-Zuhaili,  al-Fiqh al-Islami…, hlm. 222
[15] Syaikh Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nailul Author…, hlm. 145
[16] Wahbah az-Zuhaili,  al-Fiqh al-Islami…, hlm. 223
[17] Burhan Shadiq, Nikah Beda…, hlm. 65

Jumat, 23 September 2016

HUKUM MAHAR DENGAN STATUS PEMERDEKAAN BUDAK DAN JASA



Oleh:
Wenty Februari
A.  DEFINISI
a.    Definisi Budak
Secara Bahasa budak berarti abdi atau hamba[1], dalam Bahasa arab disebut ar-Riqq, yang berarti perhambaan dan perbudakan, disebut juga ar-Raqiq yang artinya budak yang dimiliki[2]
Secara isthilah manusia yang lemah yang dimiliki oleh seorang tuan, yang berdiri  dan taat dalam perintahnya, baik laki-laki ataupun perempuan[3]
b.    Definisi Jasa
Secara Bahasa jasa berarti perbuatan yang baik atau berguna dan bernilai bagi orang lain.[4]
Adapun secara istilah setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak yang lain, yang memberikan segala sesuatu yang diperlukan oleh orang lain.[5]

B.  DALIL YANG BERKAITAN TENTANG MAHAR DENGAN PERBUDAKAN DAN JASA
1.    Dalil yang terkait tentang mahar dengan perbudakan, yaitu sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Anas bin Malik r.a :
أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّم أَعْتَقَ صَفِيةَ وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَقَهَا
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  memerdekakan Shafiyah dan beliau
jadikan kemerdekaannya sebagai mahar baginya” (HR.Bukhari[6] dan Muslim[7])
Dari hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memiliki budak perempuan yang bernama Shofiyah, dan menjadikan kemerdekaan baginya sebagai maharnya dan ia menjadi istri lelaki yang memerdekakannya[8]

2.    Adapun dalil yang berkaitan dengan mahar berupa jasa, yaitu sebagaimana ayat yang menceritakan tentang Nabi Syu’aib a.s yang menawarkan salah satu antara kedua anak putrinya kepada Nabi Musa a.s untuk menikahi salah satu dari keduanya, dengan mahar bekerja selama delapan tahun. Allah Ta’ala berfirman:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ, فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ, وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ, سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّالحِيِنَ
“Dia (Syu’aib) berkata, sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun, maka itu (suatu kebaikan)darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik” (QS. al- Qashash: 27)
Dari ayat ini menunjukkan tentang pernikahan dengan menjadikan jasa (pekerjaan) sebagai maharnya, dan hal ini merupakan adanya hukum Syar’u man qoblana, yang mana belum terdapat dalil lain yang menghapus hukum dari ayat tersebut.[9]

C.  HUKUM MAHAR DENGAN PERBUDAKAN
Berangkat dari hadits yang telah disebutkan di atas, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan kemerdekaan Shofiyah sebagai mahar, menurut pendapat, Ahmad dan Abu Ishaq, dibolehkannya menjadikan status pemerdekaan budak sebagai mahar,[10] berdasarkan hadits Nabi yang telah disebutkan tadi, bahwa jika seorang budak dimerdekakan oleh tuannya, dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar, maka sah akadnya, kemerdekaannya, dan maharnya juga, jika dilihat dari dzohir hadits.[11]
Adapun menurut fuqaha’ selain Abu Ishaq dan Ahmad, bahwa pemerdekaan budak tidak bisa dijadikan mahar, dikarenakan hadits Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam tersebut masih mengandung kemungkinan bahwa inti pokoknya menjadi kekhususan bagi Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam, yang tidak berlaku umum. Karena dalam masalah pernikahan banyak ketentuan yang hanya berlaku bagi beliau saja[12].
Imam as-Syafi’i juga berkata dalam kitabnya “al-Umm” bahwa pernikahan tanpa adanya mahar itu merupakan kekhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan selainnya.[13]
Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebab adanya perbedaan pendapat dalam hal ini, yaitu dari segi pertentangannya dengan aturan pokok, yaitu bahwa pemberian kemerdekaan itu menghapus hak kepemilikan seorang majikan terhadap budaknya, sedangkan penghapusan tersebut tidak menjadikan seorang majikan memuat wewenang untuk mengadakan akad lain kepada budak tersebut, sebab apabila seseorang telah dimerdekakan, maka otomatis ia menjadi milik dirinya, dan tidak ada hak bagi seorang majikan untuk memberi perintah kepadanya. Namun sebab ini bukan berarti dikatakan bertentangan dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alai wasallam.[14]
 Dijelaskan dalam syarh hadtis Bukhari-Muslim “Fathul Bari” bahwa maksud dari hadits (أَعْتَقَ صَفِيةَ وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَقَهَا ) yaitu, memungkinkan Nabi hendak memerdekakannya, dengan syarat menikahinya tanpa adanya mahar, dengan itu Shofyah pun menerima perjanjian itu, dan ini merupakan kekhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam bukan selainnya. Ibnu Sholah berkata : maknanya bahwa pemerdekaan budak itu bisa menempati sebagai kedudukan mahar, tetapi tidak bisa dijadikan mahar, dan sebagian ahlul ilmi memakruhkannya, sehingga diharuskan memberikan mahar lagi yang lain selain mahar dengan pemerdekaan menurut as-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq, dan ini merupakan pendapat yang lebih Rajih.[15]
Sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Abu Musa tentang keutamaan memerdekakan budak kemudian menikahinya, yaitu
مَنْ كَانَتْ لَهُ جَارِيَةٌ فَعَالَهَا فَأَحْسَنَ إِلَيْهَا, ثُمَّ أَعْتَقَهَا, وَتَزَوَّجَهَا, كَانَ لَهُ أَجْرَانِ
“Barang siapa yang memiliki hamba sahaya perempuan, lalu ia menafkahinya dengan baik kemudian memerdekakannya dan menikahinya, maka baginya dua pahala" (HR.Bukhari)[16]
 Maksudnya yaitu memerdekakannya kemudian menikahinya dengan memberikannya mahar baru, selain mahar kemerdekannya itu, seperti yang dikatakan dalam riwayat lain dari Abu Burdah, dari bapaknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaih wasallam bersabda:
 (أَعتقها ثم أصدقها)
Memerdekakannya kemudian memberikannya mahar” [17]         

D.  HUKUM MAHAR DENGAN JASA
Fuqaha’ berbeda pendapat mengenai hukum mahar dengan jasa, ada yang memakruhkan, melarang, dan juga membolehkannya.
a.    Pendapat yang memakruhkan:
Dalam madzhab Maliki terdapat tiga pendapat:
1.    Boleh,  yaitu pendapat asbagh dan sahnun
2.    dilarang
3.    makruh, ini merupakan pendapat yang masyhur dikalangan madzhab malikiyah[18]
Sebab, menurut sebagian madzhab malikiyah yang dimaksud dengan mahar adalah sesuatu yang dapat dihargakan, baik berupa barang, hewan, atau bangunan, yang suci dan tidak bernajis, yang bisa dimanfaatkan dan yang bisa diserahkan kepada perempuan dalam jumlah yang diketahui[19]
b.    Pendapat yang melarang:
Yaitu pendapat madzhab Hanafiyah, karena menurut beliau mahar adalah setiap harta yang memiliki harga yang diketahui oleh orang lain dan yang dapat diserahkan kepada perempuan[20]
c.    Pendapat yang membolehkan:
yaitu pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, diperbolehkannya memberikan mahar yang bermanfaat, serta yang berupa pekerjaan. Seperti mengembala dombanya dalam tempo yang diketahui[21], menjahitkan bajunya, melayaninya dalam waktu yang diketahui, mengajarkan al-qur’an, atau mengajarkan menulis, atau suatu keterampilan tertentu, serta berbagai manfaat lainnya yang dibolehkan[22]. Berdasarkan dalil al-qur’an yang telah disebutkan di atas (عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ)
Dalam ayat tersebut terkandung hukum syar’u man qoblana, yang menunjukkan diperbolehkannya melaksanakan syari’at tersebut, dan berlaku juga bagi umat setelahnya, selagi tidak ada dalil lain yang menghapus tentang itu.[23]

E.     PENUTUP
Dari pemaparan yang telah ditulis, tentang hukum mahar dengan perbudakan dan jasa, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
Menurut fuqaha’ selain Ishaq dan Ahmad berpendapat, bahwa mahar status pemerdekaan budak itu tidak bisa dijadikan mahar. Meskipun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan itu terhadap Shafiyah, karena perbuatan itu merupakan kekhususan hanya untuk Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Namun apabila ingin menikahi budak dan memerdekakannya, hal ini diperbolehkan dengan syarat memberikan mahar baru baginya, selain mahar pemerdekaan tersebut.
Adapun tentang hukum mahar dengan jasa, hal ini diperbolehkan menurut pendapat Syafi’iyah, Hanabilah, dan ini merupakan pendapat yang masyhur dikalangan ulama, karena berdasarkan dalil ayat tentang Nabi Musa yang telah dipaparkan di atas, yang di dalamnya mengandung hukum Syar’u man qoblana. Dengan hukum itu, maka diperbolehkan bagi umat setelahnya untuk mengikutinya, selagi tidak ada dalil lain yang menghapusnya. Wallahu A’lam Bis Showab.
  
 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'anul Karim.
Asqalani, al-, Imam al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari Bisyarhil Shahih al-Bukhari, (Kairo, Darul Hadits, 1424 H/ 2003 M), jild. 9
Bassam, Abdullah bin Abdurrahman bin Shaleh Alu, Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, terj. Fikih Hadits Bukhari Muslim, cet. ke 1, (Jakarta: Ummul Qura, 2013M /1434 H )
Bukhari, al-, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail,  al-Jami’ as- Shohih, cet. ke 1, (Kairo: al- Mathba’ah as-Salafiyah, 194-256 H), jild. 3
Dardi, ad-, Ahmad, asy-Syarhu as-Shaghir, (Kairo, Darul al-Ma’arif, t.t), jilid 2
Hanaf, al-, Abu bakar bin mas’ud al-kasan, Bada’I ash-Shana’i Fi at- Tartib asy-Syar’i, cet. ke 2, (Beirut, darul al-Kitab al-ilmiyah, 1986) jild 2
Jaziri, al-, Abdurrahman, al-Fiqhu Ala Madzahibil al-Arba’ah, cet. ke 4, (Beirut, Darul al-Kitab al-Ilmiyah, 2011 M), jild. 4
Munawwir A.W, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, cet. ke 14, (Surabaya: Pustaka Progessif, 1997 M),
Naisaburi, an-, Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi, al-Jami’ as-Shohih, (t.t , t.p, t.t.p), jild. 4
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke 5, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976 M) 
Rusyd Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, terj. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, cet ke 3, (Pustaka Amani, Jakarta, 1428 M/2007 M), jild. 2
Syafi’I, asy-, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris , Al-Umm, cet. ke 2, (Libanon, Darul Kutubil Ilmiyah, 2009 M), jild. 2
Syirazi, asy-, Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Majmu’ Syarhul Muhadzab, cet. ke 2, (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 2011 m), jild. 20
Zuhaili, az-, Wahbah, at-Tafsir al-Munir, cet. ke 11, (Damaskus, Darul al-Fikr, 1432 H/ 2011 M), jild. 5
https://id.wikipedia.org/wiki/Jasa, diakses pada 8 Agustus 2016, pukul 21.30 WIB




[1] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke 5, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976 M), hlm. 157
[2] A.W.Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, cet. ke 14, (Surabaya: Pustaka Progessif, 1997 M), Hlm 523
[3] http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=18851
[4] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum…,hlm. 405
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Jasa
[6]Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,  al-Jami’ as- Shohih, cet. ke 1, (Kairo: al- Mathba’ah as-Salafiyah, 194-256 H), jild. 3, hlm. 359, no. hadits 5086
[7] Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ as-Shohih, (t.t , t.p, t.t.p), jild. 4, hlm. 146, no. hadits 1365
[8] Abdullah bin Abdurrahman bin Shaleh Alu Bassam, Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, terj. Fikih Hadits Bukhari Muslim, cet. ke 1, (Jakarta: Ummul Qura, 2013M /1434 H ), hlm. 911
[9] Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, cet. ke 11, (Damaskus, Darul al-Fikr, 1432 H/ 2011 M), jild. 5, hlm. 454
[10] Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’ Syarhul Muhadzab, cet. ke 2, (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 2011 m), jild. 20, hlm. 20
[11] Imam al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Bisyarhil Shahih al-Bukhari, (Kairo, Darul Hadits, 1424 H/ 2003 M), jild. 9, hlm. 148
[12] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, terj. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, cet ke 3, (Pustaka Amani, Jakarta, 1428 M/2007 M), jild. 2, hlm. 439
[13] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i , Al-Umm, cet. ke 2, (Libanon, Darul Kutubil Ilmiyah, 2009 M), jild. 2, hlm, 90
[14] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa…, hlm. 440
[15] Imam al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari…, hlm. 149
[16] Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’…, jild. 3, hlm. 358, no. hadits 5085
[17] ibid
[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa…, hlm. 438
[19] Ahmad ad-Dardi, asy-Syarhu as-Shaghir, (Kairo, Darul al-Ma’arif, t.t), jilid 2, hlm 428
[20] Abu bakar bin mas’ud al-kasan al-hanaf, Bada’I ash-Shana’i Fi at- Tartib asy-Syar’i, cet. ke 2, (Beirut, darul al-Kitab al-ilmiyah, 1986) jild 2, hlm 281
[21] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahibil al-Arba’ah, cet. ke 4, (Beirut, Darul al-Kitab al-Ilmiyah, 2011 M), jild. 4, hlm. 100
[22] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i , Al-umm…, hlm 91
[23] Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’, hlm 13-14