Minggu, 22 Mei 2016

HUKUM MENTALAK WANITA HAIDH

Oleh: Wenty. Februari
I.              PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan islam. pernikahan juga merupakan suatu dasar yang penting dalam memelihara kemaslahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga dengan tujuan untuk sakinah, mawaddah, warahmah. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikan dilaimpahi kebahagian, kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam, sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, iddah dan sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan talak itu sendiri mempunyai aturan mainnya, seperti yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu  hukum seorang suami yang mentalak istrinya ketika dalam keadaan haid,

II.           PEMBAHASAN
A.           Definisi
Secara bahasa: talak berarti memutuskan perjanjian, yang diambil dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan.[1]
Secara istilah: talak berarti melepaskan ikatan nikah dari pihak suami , yang bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu: dengang lafadz jelas, atau sindiran, tulisan ataupun dengan isyarat saja.[2]

B.            Hukum Mentalak Istri Ketika Haid
Jumhur Ulama sepakat bahwa mentalak istri ketika dalam keadaan haid merupakan hal yang dilarang dan diharamkan, karena hal itu merupakan perlakuan maksi’at yang akan menimbulkan dosa bagi pelakunya.[3] Dan karena hal itu juga  termasuk dalam kategori Talak Bid’I  yang hukumnya terlarang dan diharamkan. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  yang telah disabdakan mengenai hal ini:
(عَن عَبدِ الله بنِ عُمر رَضِي الله عَنهُمَا: أَنهُ طلق امراته وهي حائض, فذكر ذالك عمر لرسول الله صلى الله عليه وسلم, فتغيظ منه رسول الله صلى الله عليه وسلم, ثم قال: ليراجعها ثم يمسكها حتى تطهر, ثم تحيض فتطهر, فإن بدا له أن يطلقها قبل أن يمسها, فتلك العدة كما أمر الله عز وجل. وفي لفظ : حتى تحيض حيضة مستقبلة, سوى حيضتها التي طلقها فيها. وفي لفظ : فحبست من طلاقها, وراجعها عبد الله كما أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم.)                                      
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, ia mencerai istrinya yang sedang haid, lalu Umar menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasullah Shallallahu ‘alaihi wasallam marah karenanya kemudian bersabda, “Hendaklah ia merujuknya lalu mempertahankannya hingga suci, setelah itu haid lalu suci, kemudian jika ia berpikiran untik mencerainya sebelum mencampurinya, maka itulah iddah (yang wajar) seperti yang diperintahkan Allah Ta’ala (untuk menjatuhkan talak). Lafal lain: “hingga ia haid satu kali berikutnya, bukan haid dimana ia ditalak didalamnya.” Lafal lain: lalu talaknya dihitung, Abdullah bin Umar kemudian merujuknya seperti yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.[4]

C.            Konsekuensi Mentalak Istri ketika Haid
Dalam kitab Fiqih ‘Ala Madzahibil ‘Arba’ah menyebutkan bahwasannya , menurut madzhab Syafi’iyah  dan Hanabilah talak bid’I yakni mentalak istri ketika haid, itu tidak termasuk hitungan talak, dan dia masih memiliki talak tiga. Dan disunnahkan untuk merujuk kembali.
Adapun menurut Malikiyah, pada talak keadaan seperti ini diwajibkan untuk rujuk , karena pelakunya (suaminya) telah melakukan maksiat.
Sedangkan menurut madzhab Hanafiyah, terdapat dua bagian, yaitu:
1.      diperbolehkannya untuk rujuk, akan tetapi ini pendapat yang dho’if,
2.      diwajibkan untuk rujuk kembali hingga suci, setelah itu haid lagi, kemudian suci. Sebagaimana pendapat Malikiyah.[5]


III.        PENUTUP
Jumhur Ulama sepakat bahwasannya mentalak istri ketika dalam keadaan haidh itu dilarang dan tidak dianjurkan, karena talak tersebut merupakan talak bid’i. yang menjadikan pelakunya terkena dosa karena ini merupakan maksiat. Konsekuensi bagi talak ini yaitu sebagian ulama ada yang berpendapat disunnahkan untuk merujuk kembali, namun itu pendapat yang dhoif, sebagian yang lain ada yang berpendapat diwajibkan untuk merujuk, yaitu mempertahankan hingga suci kembali, setelah itu haid lagi, kemudian suci.

IV.        DAFTAR PUSTAKA
al-Jazairi Abdurrahman, Kitab al-Fiqh Ala Madzahibil  al-Arba’ah.jild. 4, (Beirut-Libanon, Dar Kutubil Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M)
Bassam Alu Abdullah, Fikih Hadits Bukhari-Muslim, cet. ke 1, (Riyadh, ad-Dar al-Maiman Lin Nasyar at-Tauzi’I, 1426 H/ 2005 M)
Musthafa bin al-Adadi , Ahkam at-Thalaq Fi asy-Syari’atil al-Islamiyah, cet. ke 1, (Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, 1409 H/ 1988 M)
Thariq bin Anwar as-Salim, al-Wadhih Fi Ahkam at-Talak, (Iskandariyah, Dar al-Aiman Li at-Thaba’I Wa an-Nasyar at-Taizi’I, t.t)




[1] Musthafa bin al-Adadi , Ahkam at-Thalaq Fi asy-Syari’atil al-Islamiyah, cet. ke 1, (Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, 1409 H/ 1988 M), hlm. 9
[2] Thariq bin Anwar as-Salim, al-Wadhih Fi Ahkam at-Talak, (Iskandariyah, Dar al-Aiman Li at-Thaba’I Wa an-Nasyar at-Taizi’I, t.t), hlm. 9
[3] Ibid, hlm. 52
[4] Abdullah Alu Bassam, Fikih Hadits Bukhari-Muslim, cet. ke 1, (Riyadh, ad-Dar al-Maiman Lin Nasyar at-Tauzi’I, 1426 H/ 2005 M), hlm 250.
[5] Abdurrahman al-Jazairi, Kitab al-Fiqh Ala Madzahibil  al-Arba’ah.jild. 4, (Beirut-Libanon, Dar Kutubil Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M), hlm. 274-275

HUKUM MEMBACA BASMALAH DI KAMAR MANDI KETIKA BERWUDHU

Oleh : Wenty Februari

I.          PENDAHULUAN
Allah Ta’ala adalah Rabb kita Yang Maha Agung, tidak ada sesuatu yang bisa menyekutukan-Nya, Dialah Allah Semesta Alam, yang memiliki asma’ dan sifat  yang Mulia dan Suci. Oleh karena itu, tidak sepantasnya kita sebagai hamba Allah, mencoba untuk menghinakan nama serta sifat Allah Yang Maha Suci ini, sebagaimana yang banyak terjadi dikalangan orang-orang pada hari ini. Kebanyakan dari mereka ada yang tidak mengerti sama sekali bahwa nama dan sifat-Nya adalah sangat mulia, sehingga dengan  mudahnya mereka menyebut nama-nama Allah ditempat najis, yaitu  kamar mandi.
Selain mereka yang tidak mengerti, karena awwamnya mereka, terhadap dilarangnya menyebut nama Allah di kamar mandi, terdapat pula orang-orang yang bahkan sengaja menyebut nama Allah di kamar mandi. Lebih-lebih mereka sengaja membawa Al-qur’an dan meletakkannya didalam kamar mandi, yang kebanyakan mereka melakukan semua itu atas dasar penghinaan itu sendiri, atau karena suatu persyaratan sesembahan jin, agar diberikannya rezeki yang lancar, kekuatan yang sakti,dan lain sebagainya.
Dengan ini, penulis akan memaparkan dalam makalah ini, bagaimana jika seorang yang hendak berwudhu, kemudian dia mengucapkan Bismillah (dengan nama Allah) sedangkan dia berada di dalam kamar mandi, apakah di perbolehkan atau tidak? Apakah hal ini termasuk menghinakan nama Allah Ta’ala?

II.           PEMBAHASAN
A.           Definisi
Wudhu secara bahasa berarti nama untuk suatu perbuatan yang memanfaatkan air dan digunakan untuk membersihkan anggota-anggota badan tertentu. Yang dimaksud wudhu disini  adalah diambil dari kata berbahasa arab al-Wadha’ah, al-Hasan dan an-Nazhafah. Jika dikatakan wadha’a ar-rajul dalam ungkapan arab, maka berarti “lelaki itu telah bersih atau baik atau suci.
Jika kata wudhu dibaca dengan fathah pada huruf wawu (wadhu’), maka ia berarti air yang digunakan untuk berwudhu.
Adapun secara istilah syara’ adalah kegiatan kebersihan yang khusus, atau perbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat khusus. Definisi  wudhu yang lebih jelas adalah menggunakan air yang suci pada empat anggota badan (yaitu membasuh muka, membasuh kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki) dengan cara-cara tertentu yang telah ditentukan oleh syara’[1], sebagaimana yang telah difirmankan Allah Ta’ala:
( يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَاقُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوهَكُمْ وَ أَيدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الكَعْبَينِ.....إلخ )       
“ Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…..” (QS. al-Maa’idah: 6)                                                   

B.            Hukum Membaca Basmallah Ketika Berwudhu
Berangkat dari hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Syarh Shahih al-Bukhari Li Ibni al-Bathal, pada kitab wudhu, yang berjudul,”"بَابُ التَّسْمِيَةِ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَعِندَالوِقَاعِ, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( لَو أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللهِ, اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيطَانَ, وَجَنِّبِ الشَّيطَانَ مَا رَزَقْتَنَا, فَقَضِيَ بَينَهُمَا وَلَدٌ, لمَ ْيَضُرُّهُ )
“Seandainya seseorang diantara kalian ketika hendak menggauli istrinya membaca, ‘Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepada kami’, maka jika keduanya diberikan seorang anak, setan tidak akan membahayakannya”  (HR. Bukhari)[2]

Dalam kitab ini menjelaskan bahwaa hadits ini menunjukkan dianjurkannya dan diperbolehkan membaca dzikrullah  yaitu membaca basmallah disetiap waktu, baik itu dalam keadaan suci ataupun tidak.[3]
Dalam hal ini ulama masih berbeda pendapat dalam hukum membaca basmallah ketika berwudhu. Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan satu pendapat dari Ahmad mengatakan bahwa hukumnya sunnah, sedangkan menurut madzhab Malikiyah mengatakan bahwa hukumnya diperbolehkan (Mubah), karena merupakan keutamaan berwudhu,[4]dengan berdalil yaitu sebagaimana firman Allah Ta’ala :
( يَأَيُّهَاالَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَاقُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلىَ المَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُم وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الكَعْبَينِ..إلخ)     
“ Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…..” (QS. al-Maa’idah: 6)  
Dalam ayat tersebut tidak terdapat adanya kewajiban membaca basmallah ketika berwudhu, sehingga hukumnya disunnahkan.[5]
Adapun menurut sebagian dari madzhab Hanabilah mengatakan bahwa hukumnya wajib membaca basmallah ketika berwudhu,[6] dengan berdalil sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:     
  (لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يُذكر اسم الله عَلَيهِ)                                   
“ tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebutkan nama Allah atasnya” (HR. Ibnu Majah)[7], Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Bani mengatakan dalam kitabnya bahwa hadits ini hasan[8].
Dikatakan juga dalam kitab Syarh Shahih Bukhari Li Ibni Bathal bahwa Ahmad bin Hambal mengatakan maksud hadits tersebut, bahwa ia meniadakan kesempurnaan wudhu dan bukan meniadakan sahnya wudhu, oleh karena itu siapa yang berwudhu tapi belum membaca basmallah, maka wudhunya tetap sah.[9]

C.           Hukum Membaca Basmallah Di Kamar Mandi Ketika Berwudhu
Merupakan salah satu adab didalam kamar mandi adalah dilarangnya membawa sesuatu yang tertulis didalamnya nama Allah Ta’ala[10], Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam, dari Anas bin Malik berkata:
(أَنَّ النَِّبَي صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ وَضَعَ خَاتِمَهُ)
“Bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam jika hendak masuk kamar mandi (toilet), maka (beliau) menyimpan cincinnya” (HR. Ibnu Majah)[11], karena cincinnya tertulis “Muhammad Rasulullah”.
Begitu juga dimakruhkannya menyebut nama Allah didalamnya, karena tidak sepantasnya nama Allah Ta’ala disebutkan ditempat tidak suci, dan bersarangnya para jin[12]. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
(مَرَّ رَجُلٌ بِالنَّبِي صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيهِ فَلَمَ يَرُدُّ عَلَيهِ )
“Seseorang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang buang hajat, lalu dia mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tidak menjawab salamnya” (HR. Muslim)[13]
Dengan demikian terdapat pertentangan antara dimakruhkannya mengucapkan nama Allah di kamar mandi dengan disunnahkannya membaca basmallah saat berwudhu, bahkan sebagian ulama mewajibkannya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata bahwa dimakruhkannya berdzikir dan berbicara saat buang hajat, apakah di tempat terbuka atau didalam bangunan, termasuk dalam hal ini semua bentuk dzikir dan pembicaraan, kecuali pembicaraan yang darurat. Bahkan sebagian ulama dari kalangan kami berkata: jika seseorang bersin hendaknya dia tidak mengucapkan Alhamdulillah,  tidak boleh menjawab orang bersin, tidak boleh juga menjawab salam, serta mengikuti adzan. Dengan dalil sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,dia berkata:
(مَرَّ رَجُلٌ بِالنَّبِي صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيهِ فَلَمَ يَرُدُّ عَلَيهِ )
“Seseorang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang buang hajat, lalu dia mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tidak menjawab salamnya” (HR. Muslim)[14]
 Seluruh ucapan ini hukumnya adalah makruh yang condong kepada kebolehan, bukan kepada keharaman, karena jika seseorang bersin, kemudian mengucapkan Hamdallah dalam hatinya bukan dengan lisannya, maka hal itu tidak mengapa, demikian juga halnya saat berjimak. [15]
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitab Syarhul Mumti’, “ jika berada di dalam kamar mandi, maka Imam Ahmad berkata, ‘ jika seseorang bersin, hendaknya dia mengucapkan Alhamdulillah didalam hati’.[16]
 Adapun Sebagian ulama yang lain berpendapat diharuskannya membaca Basmallah meskipun didalam kamar mandi secara lisan. Sebagaimana pendapat ulama Syeikh Bin Baz menjelaskan dalam kitabnya Majmu’ Fatawa, bahwa diperbolehkannya berwudhu didalam kamar mandi, jika memang dibutuhkan untuk itu, dan diperbolehkan juga apabila jika hendak berwudhu mengatakan (Bismillah) didalamnya, karena membaca basmallah sebelum berwudhu hukumnya wajib menurut sebagian ahlul ilmi, dan hukumnya sunnah menurut sebagian yang lain, dengan adanya kedua hukum tersebut, dapat dihilangkannya hukum dimakruhkannya membaca basmallah ketika berwudhu, sebagaimana pendapat menurut sebagian madzhab Malikiyah, karena hukum makruh tersebut dihilangkan dengan adanya kebutuhan (hajat) terhadap bacaan basmallah tersebut, dan merupakan kesempurnaan dalam berwudhu.[17]
Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam kitab Fatawa Lajnah ad-Da’imah bahwa dimakruhkannya menyebut nama Allah, seperti Tasbih, Tahmid, dan juga Takbir didalam kamar mandi ketika berwudhu, sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi membaca basmallah ketika hendak berwudhu itu diperbolehkan, karena hukum membacanya adalah wajib menurut sebagian ahlul ilmi, dan disunnahkan menurut sebagian yang lain.[18]

III.        PENUTUP
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmallah ketika berwudhu, madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan satu pendapat dari Ahmad berpendapat bahwa hukumnya disunnahkan, dan menurut Malikiyah adalah di perbolehkan, karena merupakan keutamaan dari berwudhu, sedangkan menurut sebagian madzhab Hanabilah hukumnya wajib, namun yang dimaksud wajib disini bukan berarti meniadakan sahnya wudhu tersebut, akan tetapi maksudnya adalah untuk meniadakan kesempurnaan wudhu itu, oleh karena itu jika tidak membacanya wudhunya tetap sah, tetapi tidak memiliki kesempurnaan dalam wudhu itu.
  Menurut Syaikh Shalih al-Utsaimin begitu juga Imam an-Nawawi, Diperbolehkannya membaca basmallah ketika hendak berwudhu, yang dikerjakan didalam kamar mandi, dengan diucapkan didalam hatinya. Namun menurut sebagian Mufti lainnya yang berfatwa, salah satunya Abdullah bin Baz, diperbolehkannya membaca secara lisan, karena membaca basmallah dalam berwudhu itu merupakan hajat dan kesempurnaan didalamnya, sehingga wajib hukumnya membaca basmallah. Akan tetapi nama Allah selain basmallah, seperti tasbih, takbir, tahmid ataupun yang lainnya, tidak diperbolehkan membacanya, karena tidak ada hajat didalamnya. Wallahu a’lam bis Showab





DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an dan Terjemahnya, CV Penerbit J-ART, Bandung.
Abi Zakariya Yahya Imam Muhyi ad-Din bin Sarfi an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawiyah, (tt.p, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1425 H/2004 M)
Abyan Abi Umar bin Muhammad ar-Rabyan, Ahkam at-Thaharah al-Wudhu,cet. ke-1,  jild. 9, (Riyadh, Maktabah ar-Rusyd Nasyrun, 1425 H/ 2004 M)
Ali Abi al-Hasan bin Khalaf bin Abdul Malik, Syarh Shahih Bukhari Li Ibni al-Bathal, jild. 1, (Riyadh, Maktabah ar-Rusyd, t.t)
Aziz Abdul bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz, Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah, jild. 10, (Riyadh, Dar al-Qosim Li an-Nasyar, t.t)
Bani, al-, Muhammad Nashir ad-Din, Sunan Ibnu Majah,cet. ke-1(Riyadh, Maktabah al-Ma’arif Li an-Nasyar Wa at-Tauzi’I, t.t)
DR. Zuhaily, az -,Wahbah -, al- Fiqih al-Islamy Wa Adillatuhu, jild.1, cet. ke-2, (Damaskus, Dar al-Fikr, 1405 H/ 1985 M)
Duwaisy ad-, Abdur Razak, Fatawa Li al-Lajnah ad-Da’imah Li al-Buhuts al-Ilmiyah Wa al-Ifta’, jild. 5, (Riyadh, Dar al-Muayyad, t.t)
Majah Ibnu, Sunan Ibnu Majah,”Kitab Thaharah”,jild. 1, (Beirut-Libanon, Dar al-Ma’rufah, t.t)
Muhammad Abu Abdillah bin Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih, Jild. 1, cet. ke-1, (Kairo, al-Maktabah as-Salafiyah, 1400 H)
Musa Imam bin Ahmad bin Musa Salim al-Majawi, as-Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil  Mustaqni’, Jild. 1, cet. ke-1(Kairo, Jabbatul al-Afkar, 2008 M)                                                 
Muslim Imam Abi Husain bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ as-Shahih, Jild. 1, (tt.p, t.p, t.t)
                           




[1] DR. Wahbah az-Zuhaily, al- Fiqih al-Islamy Wa Adillatuhu, jild.1, cet. ke-2, (Damaskus, Dar al-Fikr, 1405 H/ 1985 M), hlm. 207
[2] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih, Jild. 1, cet. ke-1, (Kairo, al-Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), hlm. 67, hadits no. 141
[3] Abi al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik, Syarh Shahih Bukhari Li Ibni al-Bathal, jild. 1, (Riyadh, Maktabah ar-Rusyd, t.t), hlm. 230
[4] Abi Umar Abyan bin Muhammad ar-Rabyan, Ahkam at-Thaharah al-Wudhu,cet. ke-1,  jild. 9, (Riyadh, Maktabah ar-Rusyd Nasyrun, 1425 H/ 2004 M), hlm. 141
[5] Abi al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik, Syarh Shahih Li Ibni…, hlm. 231
[6] Abi Umar Abyan bin Muhammad ar-Rabyan, Ahkam at-Thaharah ….,hlm. 142
[7] Ibnu majah, Sunan Ibnu Majah,”Kitab Thaharah”,jild. 1, (Beirut-Libanon, Dar al-Ma’rufah, t.t), hlm. 242, hadits no. 399
[8] Muhammad Nashir ad-Din al-Bani, Sunan Ibnu Majah,cet. ke-1(Riyadh, Maktabah al-Ma’arif Li an-Nasyar Wa at-Tauzi’I, t.t), hlm. 87
[9] Abi al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik, Syarh Shahih Bukhari Li ….,hlm. 231
[10] DR. Wahbah az-Zuhaily, al- Fiqih al-Islamy…, hlm. 202
[11] Ibnu majah, Sunan Ibnu…, , hlm. 242, hadits no. 303
[12] Abdur Razak ad-Duwaisy, Fatawa Li al-Lajnah ad-Da’imah Li al-Buhuts al-Ilmiyah Wa al-Ifta’, jild. 5, (Riyadh, Dar al-Muayyad, t.t), hlm. 92
[13] Imam Abi Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ as-Shahih, Jild. 1, (tt.p, t.p, t.t), hlm. 190, hadits no. 370
[14] Imam Abi Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ …., hlm. 190
[15] Imam Muhyi ad-Din Abi Zakariya Yahya bin Sarfi an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawiyah, (tt.p, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1425 H/2004 M), hlm. 37
[16] Imam Musa bin Ahmad bin Musa Salim al-Majawi, as-Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil  Mustaqni’, Jild. 1, cet. ke-1(Kairo, Jabbatul al-Afkar, 2008 M), hlm. 82
[17] Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz, Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah, jild. 10, (Riyadh, Dar al-Qosim Li an-Nasyar, t.t), hlm. 28
[18] Abdur Razak ad-Duwaisy, Fatawa Li al-Lajnah ….,hlm. 94