Minggu, 22 Mei 2016

HUKUM MENTALAK WANITA HAIDH

Oleh: Wenty. Februari
I.              PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan islam. pernikahan juga merupakan suatu dasar yang penting dalam memelihara kemaslahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga dengan tujuan untuk sakinah, mawaddah, warahmah. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikan dilaimpahi kebahagian, kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam, sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, iddah dan sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan talak itu sendiri mempunyai aturan mainnya, seperti yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu  hukum seorang suami yang mentalak istrinya ketika dalam keadaan haid,

II.           PEMBAHASAN
A.           Definisi
Secara bahasa: talak berarti memutuskan perjanjian, yang diambil dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan.[1]
Secara istilah: talak berarti melepaskan ikatan nikah dari pihak suami , yang bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu: dengang lafadz jelas, atau sindiran, tulisan ataupun dengan isyarat saja.[2]

B.            Hukum Mentalak Istri Ketika Haid
Jumhur Ulama sepakat bahwa mentalak istri ketika dalam keadaan haid merupakan hal yang dilarang dan diharamkan, karena hal itu merupakan perlakuan maksi’at yang akan menimbulkan dosa bagi pelakunya.[3] Dan karena hal itu juga  termasuk dalam kategori Talak Bid’I  yang hukumnya terlarang dan diharamkan. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  yang telah disabdakan mengenai hal ini:
(عَن عَبدِ الله بنِ عُمر رَضِي الله عَنهُمَا: أَنهُ طلق امراته وهي حائض, فذكر ذالك عمر لرسول الله صلى الله عليه وسلم, فتغيظ منه رسول الله صلى الله عليه وسلم, ثم قال: ليراجعها ثم يمسكها حتى تطهر, ثم تحيض فتطهر, فإن بدا له أن يطلقها قبل أن يمسها, فتلك العدة كما أمر الله عز وجل. وفي لفظ : حتى تحيض حيضة مستقبلة, سوى حيضتها التي طلقها فيها. وفي لفظ : فحبست من طلاقها, وراجعها عبد الله كما أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم.)                                      
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, ia mencerai istrinya yang sedang haid, lalu Umar menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasullah Shallallahu ‘alaihi wasallam marah karenanya kemudian bersabda, “Hendaklah ia merujuknya lalu mempertahankannya hingga suci, setelah itu haid lalu suci, kemudian jika ia berpikiran untik mencerainya sebelum mencampurinya, maka itulah iddah (yang wajar) seperti yang diperintahkan Allah Ta’ala (untuk menjatuhkan talak). Lafal lain: “hingga ia haid satu kali berikutnya, bukan haid dimana ia ditalak didalamnya.” Lafal lain: lalu talaknya dihitung, Abdullah bin Umar kemudian merujuknya seperti yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.[4]

C.            Konsekuensi Mentalak Istri ketika Haid
Dalam kitab Fiqih ‘Ala Madzahibil ‘Arba’ah menyebutkan bahwasannya , menurut madzhab Syafi’iyah  dan Hanabilah talak bid’I yakni mentalak istri ketika haid, itu tidak termasuk hitungan talak, dan dia masih memiliki talak tiga. Dan disunnahkan untuk merujuk kembali.
Adapun menurut Malikiyah, pada talak keadaan seperti ini diwajibkan untuk rujuk , karena pelakunya (suaminya) telah melakukan maksiat.
Sedangkan menurut madzhab Hanafiyah, terdapat dua bagian, yaitu:
1.      diperbolehkannya untuk rujuk, akan tetapi ini pendapat yang dho’if,
2.      diwajibkan untuk rujuk kembali hingga suci, setelah itu haid lagi, kemudian suci. Sebagaimana pendapat Malikiyah.[5]


III.        PENUTUP
Jumhur Ulama sepakat bahwasannya mentalak istri ketika dalam keadaan haidh itu dilarang dan tidak dianjurkan, karena talak tersebut merupakan talak bid’i. yang menjadikan pelakunya terkena dosa karena ini merupakan maksiat. Konsekuensi bagi talak ini yaitu sebagian ulama ada yang berpendapat disunnahkan untuk merujuk kembali, namun itu pendapat yang dhoif, sebagian yang lain ada yang berpendapat diwajibkan untuk merujuk, yaitu mempertahankan hingga suci kembali, setelah itu haid lagi, kemudian suci.

IV.        DAFTAR PUSTAKA
al-Jazairi Abdurrahman, Kitab al-Fiqh Ala Madzahibil  al-Arba’ah.jild. 4, (Beirut-Libanon, Dar Kutubil Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M)
Bassam Alu Abdullah, Fikih Hadits Bukhari-Muslim, cet. ke 1, (Riyadh, ad-Dar al-Maiman Lin Nasyar at-Tauzi’I, 1426 H/ 2005 M)
Musthafa bin al-Adadi , Ahkam at-Thalaq Fi asy-Syari’atil al-Islamiyah, cet. ke 1, (Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, 1409 H/ 1988 M)
Thariq bin Anwar as-Salim, al-Wadhih Fi Ahkam at-Talak, (Iskandariyah, Dar al-Aiman Li at-Thaba’I Wa an-Nasyar at-Taizi’I, t.t)




[1] Musthafa bin al-Adadi , Ahkam at-Thalaq Fi asy-Syari’atil al-Islamiyah, cet. ke 1, (Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, 1409 H/ 1988 M), hlm. 9
[2] Thariq bin Anwar as-Salim, al-Wadhih Fi Ahkam at-Talak, (Iskandariyah, Dar al-Aiman Li at-Thaba’I Wa an-Nasyar at-Taizi’I, t.t), hlm. 9
[3] Ibid, hlm. 52
[4] Abdullah Alu Bassam, Fikih Hadits Bukhari-Muslim, cet. ke 1, (Riyadh, ad-Dar al-Maiman Lin Nasyar at-Tauzi’I, 1426 H/ 2005 M), hlm 250.
[5] Abdurrahman al-Jazairi, Kitab al-Fiqh Ala Madzahibil  al-Arba’ah.jild. 4, (Beirut-Libanon, Dar Kutubil Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M), hlm. 274-275

Tidak ada komentar:

Posting Komentar