Oleh: Wenty. Februari
I.
PENDAHULUAN
Pernikahan
merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan islam. pernikahan juga merupakan
suatu dasar yang penting dalam memelihara kemaslahatan umum. Kalau tidak ada
pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada
dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk sakinah, mawaddah, warahmah. Akan
tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui
pernikan dilaimpahi kebahagian, kadang ada saja masalah yang menimbulkan
perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam,
sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan,
termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, iddah dan sebagainya. Talak dapat
dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan talak itu sendiri
mempunyai aturan mainnya, seperti yang akan dibahas dalam makalah ini,
yaitu hukum seorang suami yang mentalak
istrinya ketika dalam keadaan haid,
II.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Secara
bahasa: talak berarti memutuskan perjanjian, yang diambil dari kata ithlaq yang
berarti melepaskan atau meninggalkan.[1]
Secara
istilah: talak berarti melepaskan ikatan nikah dari pihak suami , yang bisa
dilakukan dengan tiga cara, yaitu: dengang lafadz jelas, atau sindiran, tulisan
ataupun dengan isyarat saja.[2]
B.
Hukum
Mentalak Istri Ketika Haid
Jumhur
Ulama sepakat bahwa mentalak istri ketika dalam keadaan haid merupakan hal yang
dilarang dan diharamkan, karena hal itu merupakan perlakuan maksi’at yang akan
menimbulkan dosa bagi pelakunya.[3]
Dan karena hal itu juga termasuk dalam kategori
Talak Bid’I yang hukumnya
terlarang dan diharamkan. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang telah disabdakan
mengenai hal ini:
(عَن عَبدِ الله بنِ عُمر رَضِي الله عَنهُمَا:
أَنهُ طلق امراته وهي حائض, فذكر ذالك عمر لرسول الله صلى الله عليه وسلم, فتغيظ
منه رسول الله صلى الله عليه وسلم, ثم قال: ليراجعها ثم يمسكها حتى تطهر, ثم تحيض
فتطهر, فإن بدا له أن يطلقها قبل أن يمسها, فتلك العدة كما أمر الله عز وجل. وفي
لفظ : حتى تحيض حيضة مستقبلة, سوى حيضتها التي طلقها فيها. وفي لفظ : فحبست من
طلاقها, وراجعها عبد الله كما أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم.)
Dari
Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, ia mencerai istrinya yang sedang
haid, lalu Umar menyampaikan
hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasullah Shallallahu
‘alaihi wasallam marah karenanya kemudian bersabda, “Hendaklah ia
merujuknya lalu mempertahankannya hingga suci, setelah itu haid lalu suci,
kemudian jika ia berpikiran untik mencerainya sebelum mencampurinya, maka itulah
iddah (yang wajar) seperti yang diperintahkan Allah Ta’ala (untuk
menjatuhkan talak). Lafal lain: “hingga ia haid satu kali berikutnya, bukan
haid dimana ia ditalak didalamnya.” Lafal lain: lalu talaknya dihitung,
Abdullah bin Umar kemudian merujuknya seperti yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam.[4]
C.
Konsekuensi
Mentalak Istri ketika Haid
Dalam
kitab Fiqih ‘Ala Madzahibil ‘Arba’ah menyebutkan bahwasannya , menurut
madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah talak
bid’I yakni mentalak istri ketika haid, itu tidak termasuk hitungan talak, dan
dia masih memiliki talak tiga. Dan disunnahkan untuk merujuk kembali.
Adapun
menurut Malikiyah, pada talak keadaan seperti ini diwajibkan untuk rujuk ,
karena pelakunya (suaminya) telah melakukan maksiat.
Sedangkan
menurut madzhab Hanafiyah, terdapat dua bagian, yaitu:
1.
diperbolehkannya
untuk rujuk, akan tetapi ini pendapat yang dho’if,
2.
diwajibkan
untuk rujuk kembali hingga suci, setelah itu haid lagi, kemudian suci.
Sebagaimana pendapat Malikiyah.[5]
III.
PENUTUP
Jumhur
Ulama sepakat bahwasannya mentalak istri ketika dalam keadaan haidh itu
dilarang dan tidak dianjurkan, karena talak tersebut merupakan talak bid’i.
yang menjadikan pelakunya terkena dosa karena ini merupakan maksiat.
Konsekuensi bagi talak ini yaitu sebagian ulama ada yang berpendapat
disunnahkan untuk merujuk kembali, namun itu pendapat yang dhoif, sebagian yang
lain ada yang berpendapat diwajibkan untuk merujuk, yaitu mempertahankan hingga
suci kembali, setelah itu haid lagi, kemudian suci.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Jazairi
Abdurrahman, Kitab al-Fiqh Ala Madzahibil
al-Arba’ah.jild. 4, (Beirut-Libanon, Dar Kutubil Ilmiyah, 1424 H/
2003 M)
Bassam Alu Abdullah, Fikih Hadits Bukhari-Muslim, cet. ke 1,
(Riyadh, ad-Dar al-Maiman Lin Nasyar at-Tauzi’I, 1426 H/ 2005 M)
Musthafa
bin al-Adadi , Ahkam at-Thalaq Fi asy-Syari’atil al-Islamiyah, cet. ke
1, (Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, 1409 H/ 1988 M)
Thariq
bin Anwar as-Salim, al-Wadhih Fi Ahkam at-Talak, (Iskandariyah, Dar
al-Aiman Li at-Thaba’I Wa an-Nasyar at-Taizi’I, t.t)
[1] Musthafa bin
al-Adadi , Ahkam at-Thalaq Fi asy-Syari’atil al-Islamiyah, cet. ke 1,
(Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, 1409 H/ 1988 M), hlm. 9
[2] Thariq bin
Anwar as-Salim, al-Wadhih Fi Ahkam at-Talak, (Iskandariyah, Dar al-Aiman
Li at-Thaba’I Wa an-Nasyar at-Taizi’I, t.t), hlm. 9
[3] Ibid, hlm. 52
[4] Abdullah Alu
Bassam, Fikih Hadits Bukhari-Muslim, cet. ke 1, (Riyadh, ad-Dar
al-Maiman Lin Nasyar at-Tauzi’I, 1426 H/ 2005 M), hlm 250.
[5] Abdurrahman
al-Jazairi, Kitab al-Fiqh Ala Madzahibil
al-Arba’ah.jild. 4, (Beirut-Libanon, Dar Kutubil Ilmiyah, 1424 H/
2003 M), hlm. 274-275
Tidak ada komentar:
Posting Komentar