Oleh : Wenty Februari
I. PENDAHULUAN
Allah
Ta’ala adalah Rabb kita Yang Maha Agung, tidak ada sesuatu yang bisa
menyekutukan-Nya, Dialah Allah Semesta Alam, yang memiliki asma’ dan sifat
yang Mulia dan Suci. Oleh karena
itu, tidak sepantasnya kita sebagai hamba Allah, mencoba untuk menghinakan nama
serta sifat Allah Yang Maha Suci ini, sebagaimana yang banyak terjadi
dikalangan orang-orang pada hari ini. Kebanyakan dari mereka ada yang tidak
mengerti sama sekali bahwa nama dan sifat-Nya adalah sangat mulia, sehingga
dengan mudahnya mereka menyebut
nama-nama Allah ditempat najis, yaitu
kamar mandi.
Selain
mereka yang tidak mengerti, karena awwamnya mereka, terhadap dilarangnya
menyebut nama Allah di kamar mandi, terdapat pula orang-orang yang bahkan
sengaja menyebut nama Allah di kamar mandi. Lebih-lebih mereka sengaja membawa
Al-qur’an dan meletakkannya didalam kamar mandi, yang kebanyakan mereka
melakukan semua itu atas dasar penghinaan itu sendiri, atau karena suatu
persyaratan sesembahan jin, agar diberikannya rezeki yang lancar, kekuatan yang
sakti,dan lain sebagainya.
Dengan
ini, penulis akan memaparkan dalam makalah ini, bagaimana jika seorang yang
hendak berwudhu, kemudian dia mengucapkan Bismillah (dengan nama Allah)
sedangkan dia berada di dalam kamar mandi, apakah di perbolehkan atau tidak?
Apakah hal ini termasuk menghinakan nama Allah Ta’ala?
II.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Wudhu
secara bahasa berarti nama untuk suatu perbuatan yang memanfaatkan air dan
digunakan untuk membersihkan anggota-anggota badan tertentu. Yang dimaksud
wudhu disini adalah diambil dari kata
berbahasa arab al-Wadha’ah, al-Hasan dan an-Nazhafah. Jika
dikatakan wadha’a ar-rajul dalam ungkapan arab, maka berarti “lelaki itu
telah bersih atau baik atau suci.
Jika kata wudhu
dibaca dengan fathah pada huruf wawu (wadhu’), maka ia
berarti air yang digunakan untuk berwudhu.
Adapun secara
istilah syara’ adalah kegiatan kebersihan yang khusus, atau perbuatan-perbuatan
tertentu yang dimulai dengan niat khusus. Definisi wudhu yang lebih jelas adalah menggunakan air
yang suci pada empat anggota badan (yaitu membasuh muka, membasuh kedua tangan,
mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki) dengan cara-cara tertentu yang telah
ditentukan oleh syara’[1],
sebagaimana yang telah difirmankan Allah Ta’ala:
(
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَاقُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوهَكُمْ
وَ أَيدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى
الكَعْبَينِ.....إلخ )
“
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki…..” (QS. al-Maa’idah: 6)
B.
Hukum Membaca Basmallah Ketika Berwudhu
Berangkat dari
hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Syarh Shahih al-Bukhari Li
Ibni al-Bathal, pada kitab wudhu, yang berjudul,”"بَابُ
التَّسْمِيَةِ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَعِندَالوِقَاعِ, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( لَو أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللهِ,
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيطَانَ, وَجَنِّبِ الشَّيطَانَ مَا رَزَقْتَنَا, فَقَضِيَ
بَينَهُمَا وَلَدٌ, لمَ ْيَضُرُّهُ )
“Seandainya
seseorang diantara kalian ketika hendak menggauli istrinya membaca, ‘Dengan
nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang
Engkau berikan kepada kami’, maka jika keduanya diberikan seorang anak, setan
tidak akan membahayakannya” (HR. Bukhari)[2]
Dalam kitab ini
menjelaskan bahwaa hadits ini menunjukkan dianjurkannya dan diperbolehkan
membaca dzikrullah yaitu membaca
basmallah disetiap waktu, baik itu dalam keadaan suci ataupun tidak.[3]
Dalam hal ini ulama masih berbeda pendapat dalam hukum membaca
basmallah ketika berwudhu. Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan satu pendapat
dari Ahmad mengatakan bahwa hukumnya sunnah, sedangkan menurut madzhab
Malikiyah mengatakan bahwa hukumnya diperbolehkan (Mubah), karena merupakan
keutamaan berwudhu,[4]dengan
berdalil yaitu sebagaimana firman Allah Ta’ala :
(
يَأَيُّهَاالَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَاقُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَ أَيْدِيَكُمْ إِلىَ المَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُم وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى
الكَعْبَينِ..إلخ)
“
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…..” (QS. al-Maa’idah: 6)
Dalam ayat
tersebut tidak terdapat adanya kewajiban membaca basmallah ketika berwudhu,
sehingga hukumnya disunnahkan.[5]
Adapun
menurut sebagian dari madzhab Hanabilah mengatakan bahwa hukumnya wajib membaca
basmallah ketika berwudhu,[6]
dengan berdalil sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu:
(لاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يُذكر اسم الله عَلَيهِ)
“ tidak ada shalat bagi orang yang
tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebutkan nama Allah
atasnya” (HR. Ibnu Majah)[7],
Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Bani mengatakan dalam kitabnya bahwa hadits ini
hasan[8].
Dikatakan
juga dalam kitab Syarh Shahih Bukhari Li Ibni Bathal bahwa Ahmad bin
Hambal mengatakan maksud hadits tersebut, bahwa ia meniadakan kesempurnaan
wudhu dan bukan meniadakan sahnya wudhu, oleh karena itu siapa yang berwudhu
tapi belum membaca basmallah, maka wudhunya tetap sah.[9]
C.
Hukum Membaca Basmallah Di Kamar Mandi Ketika Berwudhu
Merupakan salah
satu adab didalam kamar mandi adalah dilarangnya membawa sesuatu yang tertulis
didalamnya nama Allah Ta’ala[10],
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam, dari
Anas bin Malik berkata:
(أَنَّ النَِّبَي صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ
وَضَعَ خَاتِمَهُ)
“Bahwasannya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam jika hendak masuk kamar mandi (toilet), maka
(beliau) menyimpan cincinnya”
(HR. Ibnu Majah)[11],
karena cincinnya tertulis “Muhammad Rasulullah”.
Begitu juga
dimakruhkannya menyebut nama Allah didalamnya, karena tidak sepantasnya nama
Allah Ta’ala disebutkan ditempat tidak suci, dan bersarangnya para jin[12].
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam:
(مَرَّ
رَجُلٌ بِالنَّبِي صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيهِ فَلَمَ
يَرُدُّ عَلَيهِ )
“Seseorang melewati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang buang hajat, lalu dia mengucapkan
salam kepadanya, namun beliau tidak menjawab salamnya” (HR. Muslim)[13]
Dengan demikian
terdapat pertentangan antara dimakruhkannya mengucapkan nama Allah di kamar
mandi dengan disunnahkannya membaca basmallah saat berwudhu,
bahkan sebagian ulama mewajibkannya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata bahwa dimakruhkannya berdzikir dan berbicara saat buang hajat,
apakah di tempat terbuka atau didalam bangunan, termasuk dalam hal ini semua
bentuk dzikir dan pembicaraan, kecuali pembicaraan yang darurat. Bahkan
sebagian ulama dari kalangan kami berkata: jika seseorang bersin hendaknya dia
tidak mengucapkan Alhamdulillah, tidak boleh menjawab orang bersin, tidak boleh
juga menjawab salam, serta mengikuti adzan. Dengan dalil sebagaimana yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,dia berkata:
(مَرَّ رَجُلٌ بِالنَّبِي صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ
عَلَيهِ فَلَمَ يَرُدُّ عَلَيهِ )
“Seseorang melewati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang buang hajat, lalu dia mengucapkan
salam kepadanya, namun beliau tidak menjawab salamnya” (HR. Muslim)[14]
Seluruh
ucapan ini hukumnya adalah makruh yang condong kepada kebolehan, bukan kepada
keharaman, karena jika seseorang bersin, kemudian mengucapkan Hamdallah
dalam hatinya bukan dengan lisannya, maka hal itu tidak mengapa, demikian juga
halnya saat berjimak. [15]
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah berkata dalam kitab Syarhul Mumti’, “ jika berada di
dalam kamar mandi, maka Imam Ahmad berkata, ‘ jika seseorang bersin, hendaknya
dia mengucapkan Alhamdulillah didalam hati’.[16]
Adapun Sebagian ulama yang lain berpendapat
diharuskannya membaca Basmallah meskipun didalam kamar mandi secara
lisan. Sebagaimana pendapat ulama Syeikh Bin Baz menjelaskan dalam kitabnya Majmu’
Fatawa, bahwa diperbolehkannya berwudhu didalam kamar mandi, jika memang
dibutuhkan untuk itu, dan diperbolehkan juga apabila jika hendak berwudhu
mengatakan (Bismillah) didalamnya, karena membaca basmallah sebelum
berwudhu hukumnya wajib menurut sebagian ahlul ilmi, dan hukumnya sunnah
menurut sebagian yang lain, dengan adanya kedua hukum tersebut, dapat
dihilangkannya hukum dimakruhkannya membaca basmallah ketika berwudhu,
sebagaimana pendapat menurut sebagian madzhab Malikiyah, karena hukum makruh
tersebut dihilangkan dengan adanya kebutuhan (hajat) terhadap bacaan
basmallah tersebut, dan merupakan kesempurnaan dalam berwudhu.[17]
Sebagaimana
telah dijelaskan juga dalam kitab Fatawa Lajnah ad-Da’imah bahwa dimakruhkannya
menyebut nama Allah, seperti Tasbih, Tahmid, dan juga Takbir
didalam kamar mandi ketika berwudhu, sebagai bentuk pengagungan dan
penghormatan kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi membaca basmallah ketika
hendak berwudhu itu diperbolehkan, karena hukum membacanya adalah wajib menurut
sebagian ahlul ilmi, dan disunnahkan menurut sebagian yang lain.[18]
III.
PENUTUP
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmallah ketika
berwudhu, madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan satu pendapat dari Ahmad berpendapat
bahwa hukumnya disunnahkan, dan menurut Malikiyah adalah di perbolehkan, karena
merupakan keutamaan dari berwudhu, sedangkan menurut sebagian madzhab Hanabilah
hukumnya wajib, namun yang dimaksud wajib disini bukan berarti meniadakan
sahnya wudhu tersebut, akan tetapi maksudnya adalah untuk meniadakan
kesempurnaan wudhu itu, oleh karena itu jika tidak membacanya wudhunya tetap
sah, tetapi tidak memiliki kesempurnaan dalam wudhu itu.
Menurut Syaikh Shalih
al-Utsaimin begitu juga Imam an-Nawawi, Diperbolehkannya membaca basmallah
ketika hendak berwudhu, yang dikerjakan didalam kamar mandi, dengan diucapkan
didalam hatinya. Namun menurut sebagian Mufti lainnya yang berfatwa,
salah satunya Abdullah bin Baz, diperbolehkannya membaca secara lisan, karena
membaca basmallah dalam berwudhu itu merupakan hajat dan
kesempurnaan didalamnya, sehingga wajib hukumnya membaca basmallah. Akan
tetapi nama Allah selain basmallah, seperti tasbih, takbir, tahmid
ataupun yang lainnya, tidak diperbolehkan membacanya, karena tidak ada hajat
didalamnya. Wallahu a’lam bis Showab
DAFTAR
PUSTAKA
Al-qur’an dan Terjemahnya, CV Penerbit J-ART, Bandung.
Abi Zakariya
Yahya Imam Muhyi ad-Din bin Sarfi an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawiyah,
(tt.p, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1425 H/2004 M)
Abyan Abi Umar bin
Muhammad ar-Rabyan, Ahkam at-Thaharah al-Wudhu,cet. ke-1, jild. 9, (Riyadh, Maktabah ar-Rusyd
Nasyrun, 1425 H/ 2004 M)
Ali Abi
al-Hasan bin Khalaf bin Abdul Malik, Syarh Shahih Bukhari Li Ibni al-Bathal,
jild. 1, (Riyadh, Maktabah ar-Rusyd, t.t)
Aziz Abdul bin
Abdullah bin Abdurrahman bin Baz, Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah,
jild. 10, (Riyadh, Dar al-Qosim Li an-Nasyar, t.t)
Bani, al-,
Muhammad Nashir ad-Din, Sunan Ibnu Majah,cet. ke-1(Riyadh, Maktabah
al-Ma’arif Li an-Nasyar Wa at-Tauzi’I, t.t)
DR. Zuhaily, az
-,Wahbah -, al- Fiqih al-Islamy Wa Adillatuhu, jild.1, cet. ke-2,
(Damaskus, Dar al-Fikr, 1405 H/ 1985 M)
Duwaisy ad-,
Abdur Razak, Fatawa Li al-Lajnah ad-Da’imah Li al-Buhuts al-Ilmiyah Wa
al-Ifta’, jild. 5, (Riyadh, Dar al-Muayyad, t.t)
Majah Ibnu, Sunan Ibnu Majah,”Kitab Thaharah”,jild. 1,
(Beirut-Libanon, Dar al-Ma’rufah, t.t)
Muhammad Abu
Abdillah bin Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih, Jild. 1, cet. ke-1,
(Kairo, al-Maktabah as-Salafiyah, 1400 H)
Musa Imam bin
Ahmad bin Musa Salim al-Majawi, as-Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, Jild. 1, cet. ke-1(Kairo,
Jabbatul al-Afkar, 2008 M)
Muslim Imam Abi
Husain bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ as-Shahih,
Jild. 1, (tt.p, t.p, t.t)
[1] DR. Wahbah
az-Zuhaily, al- Fiqih al-Islamy Wa Adillatuhu, jild.1, cet. ke-2,
(Damaskus, Dar al-Fikr, 1405 H/ 1985 M), hlm. 207
[2] Abu Abdillah
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih, Jild. 1, cet. ke-1,
(Kairo, al-Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), hlm. 67, hadits no. 141
[3] Abi al-Hasan
Ali bin Khalaf bin Abdul Malik, Syarh Shahih Bukhari Li Ibni al-Bathal, jild.
1, (Riyadh, Maktabah ar-Rusyd, t.t), hlm. 230
[4] Abi Umar Abyan
bin Muhammad ar-Rabyan, Ahkam at-Thaharah al-Wudhu,cet. ke-1, jild. 9, (Riyadh, Maktabah ar-Rusyd
Nasyrun, 1425 H/ 2004 M), hlm. 141
[5] Abi al-Hasan
Ali bin Khalaf bin Abdul Malik, Syarh Shahih Li Ibni…, hlm. 231
[6] Abi Umar Abyan
bin Muhammad ar-Rabyan, Ahkam at-Thaharah ….,hlm. 142
[7] Ibnu majah, Sunan
Ibnu Majah,”Kitab Thaharah”,jild. 1, (Beirut-Libanon, Dar al-Ma’rufah,
t.t), hlm. 242, hadits no. 399
[8] Muhammad
Nashir ad-Din al-Bani, Sunan Ibnu Majah,cet. ke-1(Riyadh, Maktabah
al-Ma’arif Li an-Nasyar Wa at-Tauzi’I, t.t), hlm. 87
[9]
Abi al-Hasan
Ali bin Khalaf bin Abdul Malik, Syarh Shahih Bukhari Li ….,hlm. 231
[10] DR. Wahbah
az-Zuhaily, al- Fiqih al-Islamy…, hlm. 202
[11] Ibnu majah, Sunan
Ibnu…, , hlm. 242, hadits no. 303
[12] Abdur Razak
ad-Duwaisy, Fatawa Li al-Lajnah ad-Da’imah Li al-Buhuts al-Ilmiyah Wa
al-Ifta’, jild. 5, (Riyadh, Dar al-Muayyad, t.t), hlm. 92
[13] Imam Abi
Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’
as-Shahih, Jild. 1, (tt.p, t.p, t.t), hlm. 190, hadits no. 370
[14] Imam Abi
Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ….,
hlm. 190
[15] Imam Muhyi
ad-Din Abi Zakariya Yahya bin Sarfi an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawiyah,
(tt.p, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1425 H/2004 M), hlm. 37
[16] Imam Musa bin
Ahmad bin Musa Salim al-Majawi, as-Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, Jild. 1, cet. ke-1(Kairo,
Jabbatul al-Afkar, 2008 M), hlm. 82
[17]
Abdul Aziz bin
Abdullah bin Abdurrahman bin Baz, Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah,
jild. 10, (Riyadh, Dar al-Qosim Li an-Nasyar, t.t), hlm. 28
[18] Abdur Razak
ad-Duwaisy, Fatawa Li al-Lajnah ….,hlm. 94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar