Jumat, 23 September 2016

HUKUM MAHAR DENGAN STATUS PEMERDEKAAN BUDAK DAN JASA



Oleh:
Wenty Februari
A.  DEFINISI
a.    Definisi Budak
Secara Bahasa budak berarti abdi atau hamba[1], dalam Bahasa arab disebut ar-Riqq, yang berarti perhambaan dan perbudakan, disebut juga ar-Raqiq yang artinya budak yang dimiliki[2]
Secara isthilah manusia yang lemah yang dimiliki oleh seorang tuan, yang berdiri  dan taat dalam perintahnya, baik laki-laki ataupun perempuan[3]
b.    Definisi Jasa
Secara Bahasa jasa berarti perbuatan yang baik atau berguna dan bernilai bagi orang lain.[4]
Adapun secara istilah setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak yang lain, yang memberikan segala sesuatu yang diperlukan oleh orang lain.[5]

B.  DALIL YANG BERKAITAN TENTANG MAHAR DENGAN PERBUDAKAN DAN JASA
1.    Dalil yang terkait tentang mahar dengan perbudakan, yaitu sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Anas bin Malik r.a :
أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّم أَعْتَقَ صَفِيةَ وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَقَهَا
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  memerdekakan Shafiyah dan beliau
jadikan kemerdekaannya sebagai mahar baginya” (HR.Bukhari[6] dan Muslim[7])
Dari hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memiliki budak perempuan yang bernama Shofiyah, dan menjadikan kemerdekaan baginya sebagai maharnya dan ia menjadi istri lelaki yang memerdekakannya[8]

2.    Adapun dalil yang berkaitan dengan mahar berupa jasa, yaitu sebagaimana ayat yang menceritakan tentang Nabi Syu’aib a.s yang menawarkan salah satu antara kedua anak putrinya kepada Nabi Musa a.s untuk menikahi salah satu dari keduanya, dengan mahar bekerja selama delapan tahun. Allah Ta’ala berfirman:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ, فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ, وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ, سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّالحِيِنَ
“Dia (Syu’aib) berkata, sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun, maka itu (suatu kebaikan)darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik” (QS. al- Qashash: 27)
Dari ayat ini menunjukkan tentang pernikahan dengan menjadikan jasa (pekerjaan) sebagai maharnya, dan hal ini merupakan adanya hukum Syar’u man qoblana, yang mana belum terdapat dalil lain yang menghapus hukum dari ayat tersebut.[9]

C.  HUKUM MAHAR DENGAN PERBUDAKAN
Berangkat dari hadits yang telah disebutkan di atas, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan kemerdekaan Shofiyah sebagai mahar, menurut pendapat, Ahmad dan Abu Ishaq, dibolehkannya menjadikan status pemerdekaan budak sebagai mahar,[10] berdasarkan hadits Nabi yang telah disebutkan tadi, bahwa jika seorang budak dimerdekakan oleh tuannya, dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar, maka sah akadnya, kemerdekaannya, dan maharnya juga, jika dilihat dari dzohir hadits.[11]
Adapun menurut fuqaha’ selain Abu Ishaq dan Ahmad, bahwa pemerdekaan budak tidak bisa dijadikan mahar, dikarenakan hadits Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam tersebut masih mengandung kemungkinan bahwa inti pokoknya menjadi kekhususan bagi Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam, yang tidak berlaku umum. Karena dalam masalah pernikahan banyak ketentuan yang hanya berlaku bagi beliau saja[12].
Imam as-Syafi’i juga berkata dalam kitabnya “al-Umm” bahwa pernikahan tanpa adanya mahar itu merupakan kekhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan selainnya.[13]
Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebab adanya perbedaan pendapat dalam hal ini, yaitu dari segi pertentangannya dengan aturan pokok, yaitu bahwa pemberian kemerdekaan itu menghapus hak kepemilikan seorang majikan terhadap budaknya, sedangkan penghapusan tersebut tidak menjadikan seorang majikan memuat wewenang untuk mengadakan akad lain kepada budak tersebut, sebab apabila seseorang telah dimerdekakan, maka otomatis ia menjadi milik dirinya, dan tidak ada hak bagi seorang majikan untuk memberi perintah kepadanya. Namun sebab ini bukan berarti dikatakan bertentangan dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alai wasallam.[14]
 Dijelaskan dalam syarh hadtis Bukhari-Muslim “Fathul Bari” bahwa maksud dari hadits (أَعْتَقَ صَفِيةَ وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَقَهَا ) yaitu, memungkinkan Nabi hendak memerdekakannya, dengan syarat menikahinya tanpa adanya mahar, dengan itu Shofyah pun menerima perjanjian itu, dan ini merupakan kekhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam bukan selainnya. Ibnu Sholah berkata : maknanya bahwa pemerdekaan budak itu bisa menempati sebagai kedudukan mahar, tetapi tidak bisa dijadikan mahar, dan sebagian ahlul ilmi memakruhkannya, sehingga diharuskan memberikan mahar lagi yang lain selain mahar dengan pemerdekaan menurut as-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq, dan ini merupakan pendapat yang lebih Rajih.[15]
Sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Abu Musa tentang keutamaan memerdekakan budak kemudian menikahinya, yaitu
مَنْ كَانَتْ لَهُ جَارِيَةٌ فَعَالَهَا فَأَحْسَنَ إِلَيْهَا, ثُمَّ أَعْتَقَهَا, وَتَزَوَّجَهَا, كَانَ لَهُ أَجْرَانِ
“Barang siapa yang memiliki hamba sahaya perempuan, lalu ia menafkahinya dengan baik kemudian memerdekakannya dan menikahinya, maka baginya dua pahala" (HR.Bukhari)[16]
 Maksudnya yaitu memerdekakannya kemudian menikahinya dengan memberikannya mahar baru, selain mahar kemerdekannya itu, seperti yang dikatakan dalam riwayat lain dari Abu Burdah, dari bapaknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaih wasallam bersabda:
 (أَعتقها ثم أصدقها)
Memerdekakannya kemudian memberikannya mahar” [17]         

D.  HUKUM MAHAR DENGAN JASA
Fuqaha’ berbeda pendapat mengenai hukum mahar dengan jasa, ada yang memakruhkan, melarang, dan juga membolehkannya.
a.    Pendapat yang memakruhkan:
Dalam madzhab Maliki terdapat tiga pendapat:
1.    Boleh,  yaitu pendapat asbagh dan sahnun
2.    dilarang
3.    makruh, ini merupakan pendapat yang masyhur dikalangan madzhab malikiyah[18]
Sebab, menurut sebagian madzhab malikiyah yang dimaksud dengan mahar adalah sesuatu yang dapat dihargakan, baik berupa barang, hewan, atau bangunan, yang suci dan tidak bernajis, yang bisa dimanfaatkan dan yang bisa diserahkan kepada perempuan dalam jumlah yang diketahui[19]
b.    Pendapat yang melarang:
Yaitu pendapat madzhab Hanafiyah, karena menurut beliau mahar adalah setiap harta yang memiliki harga yang diketahui oleh orang lain dan yang dapat diserahkan kepada perempuan[20]
c.    Pendapat yang membolehkan:
yaitu pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, diperbolehkannya memberikan mahar yang bermanfaat, serta yang berupa pekerjaan. Seperti mengembala dombanya dalam tempo yang diketahui[21], menjahitkan bajunya, melayaninya dalam waktu yang diketahui, mengajarkan al-qur’an, atau mengajarkan menulis, atau suatu keterampilan tertentu, serta berbagai manfaat lainnya yang dibolehkan[22]. Berdasarkan dalil al-qur’an yang telah disebutkan di atas (عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ)
Dalam ayat tersebut terkandung hukum syar’u man qoblana, yang menunjukkan diperbolehkannya melaksanakan syari’at tersebut, dan berlaku juga bagi umat setelahnya, selagi tidak ada dalil lain yang menghapus tentang itu.[23]

E.     PENUTUP
Dari pemaparan yang telah ditulis, tentang hukum mahar dengan perbudakan dan jasa, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
Menurut fuqaha’ selain Ishaq dan Ahmad berpendapat, bahwa mahar status pemerdekaan budak itu tidak bisa dijadikan mahar. Meskipun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan itu terhadap Shafiyah, karena perbuatan itu merupakan kekhususan hanya untuk Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Namun apabila ingin menikahi budak dan memerdekakannya, hal ini diperbolehkan dengan syarat memberikan mahar baru baginya, selain mahar pemerdekaan tersebut.
Adapun tentang hukum mahar dengan jasa, hal ini diperbolehkan menurut pendapat Syafi’iyah, Hanabilah, dan ini merupakan pendapat yang masyhur dikalangan ulama, karena berdasarkan dalil ayat tentang Nabi Musa yang telah dipaparkan di atas, yang di dalamnya mengandung hukum Syar’u man qoblana. Dengan hukum itu, maka diperbolehkan bagi umat setelahnya untuk mengikutinya, selagi tidak ada dalil lain yang menghapusnya. Wallahu A’lam Bis Showab.
  
 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'anul Karim.
Asqalani, al-, Imam al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari Bisyarhil Shahih al-Bukhari, (Kairo, Darul Hadits, 1424 H/ 2003 M), jild. 9
Bassam, Abdullah bin Abdurrahman bin Shaleh Alu, Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, terj. Fikih Hadits Bukhari Muslim, cet. ke 1, (Jakarta: Ummul Qura, 2013M /1434 H )
Bukhari, al-, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail,  al-Jami’ as- Shohih, cet. ke 1, (Kairo: al- Mathba’ah as-Salafiyah, 194-256 H), jild. 3
Dardi, ad-, Ahmad, asy-Syarhu as-Shaghir, (Kairo, Darul al-Ma’arif, t.t), jilid 2
Hanaf, al-, Abu bakar bin mas’ud al-kasan, Bada’I ash-Shana’i Fi at- Tartib asy-Syar’i, cet. ke 2, (Beirut, darul al-Kitab al-ilmiyah, 1986) jild 2
Jaziri, al-, Abdurrahman, al-Fiqhu Ala Madzahibil al-Arba’ah, cet. ke 4, (Beirut, Darul al-Kitab al-Ilmiyah, 2011 M), jild. 4
Munawwir A.W, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, cet. ke 14, (Surabaya: Pustaka Progessif, 1997 M),
Naisaburi, an-, Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi, al-Jami’ as-Shohih, (t.t , t.p, t.t.p), jild. 4
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke 5, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976 M) 
Rusyd Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, terj. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, cet ke 3, (Pustaka Amani, Jakarta, 1428 M/2007 M), jild. 2
Syafi’I, asy-, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris , Al-Umm, cet. ke 2, (Libanon, Darul Kutubil Ilmiyah, 2009 M), jild. 2
Syirazi, asy-, Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Majmu’ Syarhul Muhadzab, cet. ke 2, (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 2011 m), jild. 20
Zuhaili, az-, Wahbah, at-Tafsir al-Munir, cet. ke 11, (Damaskus, Darul al-Fikr, 1432 H/ 2011 M), jild. 5
https://id.wikipedia.org/wiki/Jasa, diakses pada 8 Agustus 2016, pukul 21.30 WIB




[1] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke 5, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976 M), hlm. 157
[2] A.W.Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, cet. ke 14, (Surabaya: Pustaka Progessif, 1997 M), Hlm 523
[3] http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=18851
[4] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum…,hlm. 405
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Jasa
[6]Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,  al-Jami’ as- Shohih, cet. ke 1, (Kairo: al- Mathba’ah as-Salafiyah, 194-256 H), jild. 3, hlm. 359, no. hadits 5086
[7] Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ as-Shohih, (t.t , t.p, t.t.p), jild. 4, hlm. 146, no. hadits 1365
[8] Abdullah bin Abdurrahman bin Shaleh Alu Bassam, Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, terj. Fikih Hadits Bukhari Muslim, cet. ke 1, (Jakarta: Ummul Qura, 2013M /1434 H ), hlm. 911
[9] Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, cet. ke 11, (Damaskus, Darul al-Fikr, 1432 H/ 2011 M), jild. 5, hlm. 454
[10] Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’ Syarhul Muhadzab, cet. ke 2, (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah, 2011 m), jild. 20, hlm. 20
[11] Imam al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Bisyarhil Shahih al-Bukhari, (Kairo, Darul Hadits, 1424 H/ 2003 M), jild. 9, hlm. 148
[12] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, terj. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, cet ke 3, (Pustaka Amani, Jakarta, 1428 M/2007 M), jild. 2, hlm. 439
[13] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i , Al-Umm, cet. ke 2, (Libanon, Darul Kutubil Ilmiyah, 2009 M), jild. 2, hlm, 90
[14] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa…, hlm. 440
[15] Imam al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari…, hlm. 149
[16] Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’…, jild. 3, hlm. 358, no. hadits 5085
[17] ibid
[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa…, hlm. 438
[19] Ahmad ad-Dardi, asy-Syarhu as-Shaghir, (Kairo, Darul al-Ma’arif, t.t), jilid 2, hlm 428
[20] Abu bakar bin mas’ud al-kasan al-hanaf, Bada’I ash-Shana’i Fi at- Tartib asy-Syar’i, cet. ke 2, (Beirut, darul al-Kitab al-ilmiyah, 1986) jild 2, hlm 281
[21] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahibil al-Arba’ah, cet. ke 4, (Beirut, Darul al-Kitab al-Ilmiyah, 2011 M), jild. 4, hlm. 100
[22] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i , Al-umm…, hlm 91
[23] Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’, hlm 13-14