Selasa, 04 Agustus 2015

Taubat dan Istighfar



SERUAN UNTUK TAUBAT NASHUHA DAN ISTIGHFAR

Oleh : Wenty Februari
Setiap kita pasti memiliki banyak dosa, aib, dan kesalahan, bukankah benar demikian? Jawabannya pasti, Ya. Namun, apakah semua itu lantas menjadikan kita putus asa untuk meraih rahmat Allah dan ampunan-Nya? Demi Allah, tidak. Apakah kita akan berputus asa dari ampunan-Nya?
Padahal Allah ta’ala senantiasa menyeru untuk meraih Jannah dan ampunan-Nya dengan izin-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang memlampaui b diriatas terhadap dirimereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Juga firman-Nya,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang ddapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 135)
Bagaimana mungkin kita tidak bertaubat. Padahal kemenangan, kesuksesan, kegembiraan, ketenangan, keberuntungan, dan kemantapan tidak akan diraih kecuali oleh hamba yang bertaubat, dari laki-laki maupun perempuan?
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)
Makna Taubat
Taubat maksudnya kembali kepada dzahir jiwa asalnya, setelah cahaya kemanusiaan (fitrah) dan roh ditutupi oleh kegelapan dosa dan pelanggaran.
Syarat Taubat Nashuha (benar)
Taubat nashuha (benar) akan diterima di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Taubat nashuha bisa menghapus kesalahan-kesalahan dan kejelekan-kejelekan sebelumnya.
Allah ‘Azza wa Jalla telah menyeru kepada kita semua untuk teubat nashuha, Dia berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8)
Untuk bisa meraih tingkatan taubat dengan benar, maka diharuskan meninggalkan dosa yang sedang dilakukan, dan menyesali dosa yang telah lalu, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi dan menggantinya dengan melakukan kebajikan.
Taubat Nashuha memiliki empat unsur, beristigfar (memohon ampun) dengan lisan, menyesal dalam hati, berusaha menjauhi dari dosa-dosa (maksiat) dan bertekad tidak mengulang dosa tersebut.
Sebagian Ulama mengatakan, taubat dari sebuah kesalahan (dosa) adalah kewajiban. Jika bentuk maksiat tersebut hanya antara dirinya dengan Rabb-nya, dan tidak ada kaitannya dengan hak sesame, maka baginya tiga syarat,
1.      Menjauhi maksiat.
2.      Menyesali perbuatan maksiat tersebut.
3.      Bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Hal ini diharapkan agar taubatnya dari kesalahan menjadi benar. Adapun kebenaran hanya mutlak Allah yang menilai.
Namun jika maksiat tersebut masih ada kaitan dengan hak muslim atau muslimah yang lain, maka baginya empat syarat.
 Tiga syarat yang pertama sebagaimana yang tertera diatas, dan ditambah satu syarat yakni menyelesaikan urusan hak agar terbebas dari tuntutan saudaranya.
Jika kesalahan berbentuk mencuri (mengambil milik orang lain tanpa hak), maka harus mengembalikannya, jika tidak dijumpai orang yang bersangkutan, maka bisa diwakilkan kepada kerabat yang berhak.
Namun jika semua usaha tersebut telah dilakukan dan tidak menemukannya, maka bisa dengan cara menyedekahkan harta yang senilai dengan yang diambil dengan niatan sedekah untuk dirinya (pemilik harta yang dicuri), dan banyaklah memohon ampun untuknya dan mendo’akannya.
Waktu Diterimanya Taubat
Allah ‘Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada kita dalam Al-qur’an, bahwa taubat yang diterima bagi orang-orang yang telah melakukan dosa dan maksiat adalah sebelum datangnya ajal (sakaratul maut) dan sebelum nyawa sampai di tenggorokan, merekalah orang yang diterima taubatnya oleh Allah, dan Alloh Maha Mengetahui hamba yang bersegera taubat.
Allah ‘Azza wa Jalla tidak menerima taubat hamba yang melakukan kesalahan ketika nyawa sudah berada di kerongkongan , ia mengatakan, “Saya bertaubat sekarang.” Dan tidak diterima pula taubatnya orang yang mati dalam kafir, bahkan yang ada, mereka segera menuai ancaman berupa siksa pedih yang telah dipersiapkan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka didalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa’: 17-18).
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menerima taubat seorang hamba selagi nyawa belum sampai di tenggorokan.”

Memperbanyak Istigfar
Telah disebutkan sebagaimana diatas tadi, diantara empat unsure taubat nashuha, salah satunya ialah beristighfar (memohon ampun) dengan lisan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan pada umatnya untuk memperbanyak istighfar (bacaan : astagfirullah). Karena manusia tidaklah luput dari kesalahan dan dosa, sehingga istighfar dan taubat mesti dijaga setiap saat.
Dari Abu Hurairah r.a, ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَاللهِ إِنِيْ لَأَستَغفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرُ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَة
“Demi Allah, aku sungguh beristighfar pada Allah dan bertaubat pada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali” (HR. Bukhori no. 6307).
Dari Al-Aghorr Al-Muzanni, yang merupakan sahabat Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ لَيُغْنُ عَلَى قَلْبِيْ وَإِنِيْ لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ فِى الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَة
“Ketika aku malas, aku beristighfar pada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702).
Al-qodhi ‘Iyadh mengatakan bahwa makna hadits di atas, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan malas beliau membacanya seperti itu. Artinya, beliau rutin terus mengamalkan dzikir istighfar setiap harinya.

Beberapa Faidah dari Hadits di atas:
1.      Hadits di atas memotivasi supaya memperbanyak taubat dan istighfar.
2.      Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam adalah makhluk terbaik di sisi Allah dan dosanya yang telah lalu dan akan datang telah diampuni, namun beliau masih beristighfar sebanyak 70 kali dalam rangka pengajaran kepada umatnya dan supaya meninggikan derajat beliau di sisi Allah.
3.      Terus memperbanyak taubat dan istighfarakan menghapuskan dosa dan kesalahan yang bisa jadi dilakukan tanpa sengaja.
4.      Bilangan istighfar dalam yang disebutkan dalam kedua hadits diatas tidak menunjukan angka tersebut sebagai batasan dalam istighfar, namun yang dimaksud adalah banyaknya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar.
Semoga Allah mengampuni setiap kesalahan dan dosa kita dengan istighfar dan taubat yang terus kita rutinkan. Wallahu a’lam bis showab
Referensi :* Majdi Fathi As-Sayyid, Taubat Nasuha Para Wanita, penerbit: Al-Wafa’
                  * Rumaysho.com-Perintah Memperbanyak Istighfar.pdf
                  *Tawbah-ms.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar