SERUAN UNTUK TAUBAT NASHUHA DAN
ISTIGHFAR
Oleh : Wenty Februari
Setiap kita pasti memiliki banyak dosa, aib, dan kesalahan,
bukankah benar demikian? Jawabannya pasti, Ya. Namun, apakah semua itu lantas
menjadikan kita putus asa untuk meraih rahmat Allah dan ampunan-Nya? Demi
Allah, tidak. Apakah kita akan berputus asa dari ampunan-Nya?
Padahal Allah ta’ala senantiasa menyeru untuk meraih Jannah dan
ampunan-Nya dengan izin-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang memlampaui b diriatas
terhadap dirimereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Az-Zumar: 53)
Juga firman-Nya,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang ddapat mengampuni dosa selain
dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui.” (QS. Ali
Imran: 135)
Bagaimana mungkin kita tidak bertaubat. Padahal kemenangan,
kesuksesan, kegembiraan, ketenangan, keberuntungan, dan kemantapan tidak akan
diraih kecuali oleh hamba yang bertaubat, dari laki-laki maupun perempuan?
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.” (QS.
An-Nur: 31)
Makna Taubat
Taubat maksudnya kembali kepada dzahir jiwa asalnya, setelah cahaya
kemanusiaan (fitrah) dan roh ditutupi oleh kegelapan dosa dan pelanggaran.
Syarat Taubat Nashuha (benar)
Taubat nashuha (benar) akan diterima di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.
Taubat nashuha bisa menghapus kesalahan-kesalahan dan kejelekan-kejelekan
sebelumnya.
Allah ‘Azza wa Jalla telah menyeru kepada kita semua untuk teubat
nashuha, Dia berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nashuha (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8)
Untuk bisa meraih tingkatan taubat dengan benar, maka diharuskan
meninggalkan dosa yang sedang dilakukan, dan menyesali dosa yang telah lalu,
bertekad untuk tidak mengulanginya lagi dan menggantinya dengan melakukan
kebajikan.
Taubat Nashuha memiliki empat unsur, beristigfar (memohon ampun)
dengan lisan, menyesal dalam hati, berusaha menjauhi dari dosa-dosa (maksiat)
dan bertekad tidak mengulang dosa tersebut.
Sebagian Ulama mengatakan, taubat dari sebuah kesalahan (dosa)
adalah kewajiban. Jika bentuk maksiat tersebut hanya antara dirinya dengan
Rabb-nya, dan tidak ada kaitannya dengan hak sesame, maka baginya tiga syarat,
1.
Menjauhi
maksiat.
2.
Menyesali
perbuatan maksiat tersebut.
3.
Bertekad
untuk tidak mengulanginya lagi.
Hal
ini diharapkan agar taubatnya dari kesalahan menjadi benar. Adapun kebenaran
hanya mutlak Allah yang menilai.
Namun
jika maksiat tersebut masih ada kaitan dengan hak muslim atau muslimah yang
lain, maka baginya empat syarat.
Tiga syarat yang pertama sebagaimana yang
tertera diatas, dan ditambah satu syarat yakni menyelesaikan urusan hak agar
terbebas dari tuntutan saudaranya.
Jika
kesalahan berbentuk mencuri (mengambil milik orang lain tanpa hak), maka harus
mengembalikannya, jika tidak dijumpai orang yang bersangkutan, maka bisa
diwakilkan kepada kerabat yang berhak.
Namun
jika semua usaha tersebut telah dilakukan dan tidak menemukannya, maka bisa
dengan cara menyedekahkan harta yang senilai dengan yang diambil dengan niatan
sedekah untuk dirinya (pemilik harta yang dicuri), dan banyaklah memohon ampun
untuknya dan mendo’akannya.
Waktu Diterimanya Taubat
Allah
‘Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada kita dalam Al-qur’an, bahwa taubat yang
diterima bagi orang-orang yang telah melakukan dosa dan maksiat adalah sebelum
datangnya ajal (sakaratul maut) dan sebelum nyawa sampai di tenggorokan,
merekalah orang yang diterima taubatnya oleh Allah, dan Alloh Maha Mengetahui
hamba yang bersegera taubat.
Allah
‘Azza wa Jalla tidak menerima taubat hamba yang melakukan kesalahan ketika
nyawa sudah berada di kerongkongan , ia mengatakan, “Saya bertaubat sekarang.”
Dan tidak diterima pula taubatnya orang yang mati dalam kafir, bahkan yang ada,
mereka segera menuai ancaman berupa siksa pedih yang telah dipersiapkan. Allah
‘Azza wa Jalla berfirman,
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang
yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat
dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari
orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada
seseorang diantara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya saya
bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati
sedang mereka didalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksa
yang pedih.” (QS. An-Nisa’:
17-18).
Rosululloh
shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza
wa Jalla menerima taubat seorang hamba selagi nyawa belum sampai di
tenggorokan.”
Memperbanyak Istigfar
Telah
disebutkan sebagaimana diatas tadi, diantara empat unsure taubat nashuha, salah
satunya ialah beristighfar (memohon ampun) dengan lisan. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam telah mencontohkan pada umatnya untuk memperbanyak istighfar
(bacaan : astagfirullah). Karena manusia tidaklah luput dari kesalahan
dan dosa, sehingga istighfar dan taubat mesti dijaga setiap saat.
Dari
Abu Hurairah r.a, ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
وَاللهِ إِنِيْ لَأَستَغفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ
أَكْثَرُ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَة
“Demi Allah, aku sungguh beristighfar pada
Allah dan bertaubat pada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali” (HR. Bukhori no. 6307).
Dari Al-Aghorr
Al-Muzanni, yang merupakan sahabat Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّهُ لَيُغْنُ عَلَى قَلْبِيْ وَإِنِيْ لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ فِى
الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَة
“Ketika aku malas, aku beristighfar pada Allah
dalam sehari sebanyak seratus kali.”
(HR. Muslim no. 2702).
Al-qodhi ‘Iyadh
mengatakan bahwa makna hadits di atas, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam keadaan malas beliau membacanya seperti itu. Artinya,
beliau rutin terus mengamalkan dzikir istighfar setiap harinya.
Beberapa
Faidah dari Hadits di atas:
1.
Hadits
di atas memotivasi supaya memperbanyak taubat dan istighfar.
2.
Rasulullah
shallallahu ‘alai wa sallam adalah makhluk terbaik di sisi Allah dan
dosanya yang telah lalu dan akan datang telah diampuni, namun beliau masih
beristighfar sebanyak 70 kali dalam rangka pengajaran kepada umatnya dan supaya
meninggikan derajat beliau di sisi Allah.
3.
Terus
memperbanyak taubat dan istighfarakan menghapuskan dosa dan kesalahan yang bisa
jadi dilakukan tanpa sengaja.
4.
Bilangan
istighfar dalam yang disebutkan dalam kedua hadits diatas tidak menunjukan
angka tersebut sebagai batasan dalam istighfar, namun yang dimaksud adalah
banyaknya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar.
Semoga Allah
mengampuni setiap kesalahan dan dosa kita dengan istighfar dan taubat yang
terus kita rutinkan. Wallahu a’lam bis showab
Referensi
:* Majdi Fathi As-Sayyid, Taubat Nasuha Para Wanita, penerbit: Al-Wafa’
* Rumaysho.com-Perintah
Memperbanyak Istighfar.pdf
*Tawbah-ms.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar